Menurtnya, perhitungan atas skema bagi hasil ini sudah memperhitungkan berbagai aspek agar tidak ada yang dirugikan.
Seperti diketahui, gross split menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Besarannya untuk minyak bumi sebesar 57% negara 43% kontraktor dan gas bumi 52% negara-48% kontraktor. Skema ini dipercaya menjadi solusi bagi permasalahan sektor hulu migas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai contoh, kata dia, jika dalam 10 tahun terakhir kontrak-kontrak migas di Indonesia dijadikan gross split, bagian yang diterima oleh negara dr sisi PNBP plus pajak yang masuk, rangenya berkisar dari 38-59%. Hal ini akan menguntungkan negara.
"Jadi pada saat harga minyak tinggi, maka negara dapat 59%, pada saat rendah hanya 38%. Itu kalau digroskan," ujar dia.
Kurang efisiennya sistem Production Sharing Cost (PSC) terkait cost recovery menjadikan Pemerintah Indonesia menggantinya dengan skema gross split, dengan harapan industri migas akan lebih bergairah.
Wirat menambahkan, penurunan iklim investasi di hulu migas terlihat dari jumlah KKKS sejak 2012 yang terus menurun.
"Harusnya kan naik, karena semakin luas, teknologi makin canggih, harusnya eksplorasi makin kemana-mana. Tapi penawaran blok waktu itu kami lakukan ada 7 blok, yang daftar hanya 4 dan yang lolos kecil sekali. Padahal kalau dulu kita tawarkan wilayah kerja 4, yang datang banyak sekali. Artinya kita kalah atraktif dengan investor di tempat-tempat lain," ungkapnya.
Meski demikian, ia mengaku aturan yang ditetapkan oleh pemerintah tak lepas dari kesalahan. Untuk itu ia berharap ada masukan positif yang datang guna membantu industri hulu migas di Indonesia lebih atraktif.
"Tentu karena ini adalah program kita bersama, dan sebagai seorang manusia, tidak ada gading yang tak retak. Pasti akan ada suatu kekurangan. Kita sangat open, kita terus diskusikan ke depan. Kita harapkan industri migas Indonesia bisa semakin atraktif dan efisien," pungkasnya.
Di tempat yang sama, Anggota Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, Ahmad Wijaya menyatakan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah menghapus skema cost recovery dan menggantinya dengan gross split. Namun demikian, ia berharap pemerintah konsisten akan peraturan ini dan tidak kompromi pada aturan yang telah diterapkan.
Misalnya soal bagi hasil yang telah ditetapkan pada Permen yang berlaku, ia berharap kejadian tak berulang seperti aturan relaksasi yang ada di Minerba.
"Buat kita pengusaha, begitu ada Permen, pemerintah serius enggak untuk menangani? Artinya pihak hulu yang masuk ke split ini, apakah akan mengakibatkan proses di hilirnya terganggu. Dulu kan kontrak karya si A, si B tarik ulur seperti di minerba. Akhirnya tarik ulur terus," katanya dalam kesempatan yang sama.
"Harapan pengusaha, begitu permen ada nomor sekian, diteruskan, dan jangan kompromi, supaya hulu ke hilirnya jalan," ungkapnya. (dna/dna)