Gross split menggunakan mekanisme bagi hasil di awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Besarannya untuk minyak bumi sebesar 57% untuk negara-43% untuk kontraktor, dan gas bumi 52% untuk negara-48% kontraktor. Skema ini dipercaya menjadi solusi bagi permasalahan sektor hulu migas.
Pengamat migas internasional, Wood Mackenzie, mencoba menghitung kelebihan dan kekurangan dari skema tersebut. Perhitungan tersebut dituangkan ke dalam sebuah gambar yang membandingkan aturan lama dengan aturan baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pada gambar sebelah kiri, ada sebuah barel dengan pembagian hasil di aturan yang lama. Kira-kira perhitungannya begini, FTP (first tranche petroleum) atau royalti menjadi jatah pemerintah ditambah pajak dan bagian pemerintah, yaitu US$ 10 ditambah US$ 3 ditambah US$ 42,5 totalnya US$ 55,5.
Namun bagian pemerintah itu masih harus dipotong dengan cost recovery yang diajukan kontraktor US$ 40. Sementara bagian untuk kontraktor adalah US$ 4,5.
Sedangkan di aturan gross split, pemerintah dapat jatah lebih besar, yaitu bagian pemerintah US$ 53 ditambah pajak US$ 2,8, totalnya US$ 55,8. Lebih besar dari aturan lama. Karena tidak ada tagihan cost recovery di dalamnya.
Sementara kontraktor mendapat jatah US$ 44,2 tapi belum dipotong cost recovery sebesar US$ 40. Sehingga kontraktor hanya mendapat jatah US$ 4,2 saja, lebih kecil dari sebelumnya di aturan lama US$ 4,5.
"Pada aturan gross split ini kontraktor malah dikurangi pemasukannya. Ini bisa jadi negatif, tapi bisa juga lebih menarik," kata Direktur Riset Hulu Minyak dan Gas Wood Mackenzie Asia Pacific, Andrew Harwood, saat Media Briefing di kantornya, 3 Church Street, Singapura, Senin (23/1/2017).
Mengapa lebih menarik? Karena kontraktor sekarang bisa fokus melakukan efisiensi dalam operasionalnya. Jika tadi contoh cost recovery butuh US$ 40, maka jika kontraktor efisien biaya tersebut bisa semakin ditekan.
Dengan biaya yang ditekan dan efisiensi, maka jatah kontraktor akan lebih tinggi. Hal serupa juga disampaikan Analis Bisnis Hulu Migas Wood Mackenzie Asia Pacific, Johan Hardi Utama.
"Jika bisa tekan biaya produksi, kontraktor bisa menang banyak. Jika dilihat secara efisiensi, maka masuk akal pemerintah menerapkan aturan ini," kata Johan.
Johan menambahkan, supaya bisa menggenjot lebih banyak investor masuk, pemerintah juga harus memperhatikan perizinan yang selama ini sangat panjang. Semakin ringkas perizinan, maka semakin menarik Indonesia di mata investor. (ang/wdl)