Aturan ini tidak berlaku surut, hanya berlaku untuk PJBL alias Power Purchase Agreement (PPA) yang diteken setelah Permen diterbitkan. Untuk PPA yang sudah ditandatangani dengan skema Build, Own, Operate (BOO), pembangkit tetap menjadi milik IPP setelah kontrak berakhir.
Tapi semua PPA yang bakal diteken PLN dengan IPP ke depan harus memakai pola kerja sama Build, Own, Operate, Transfer (BOOT). Dengan skema BOOT, pembangkit menjadi aset negara begitu PPA berakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, skema BOOT tidak akan merugikan IPP. Sebab, harga jual listrik dari IPP ke PLN sudah menghitung semua modal yang dikeluarkan, termasuk tanah, ditambah margin yang layak. IPP sudah balik modal dan menikmati keuntungan sebelum kontrak berakhir.
"Kan waktu IPP bikin pembangkit harga tanah dan semuanya sudah dihitung. Waktu menghitung IRR (Internal Rate Return/tingkat pengembalian modal) sudah termasuk harga tanah," kata Jarman, usai coffee morning di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Skema BOOT pun sudah banyak dipakai dalam PPA. Sekarang semua PPA wajib menggunakan skema BOOT karena negara harus menjamin keandalan listrik untuk rakyat. "Selama ini ada opsi, boleh ditransfer dan boleh tidak. Tapi kita melihat bahwa itu adalah resources yang perlu dikuasai negara," tukasnya.
Pembangkit milik IPP yang sudah menggunakan skema BOOT, harus diserahkan pada negara setelah berakhirnya masa kontrak PPA, di antaranya adalah PLTU Batang 2 x 1.000 megawatt (MW) dan PLTU Tanjung Jati B Unit 1 dan 2 yang berkapasitas 1.320 MW.
Dengan skema BOOT pun kedua pembangkit raksasa itu masih bisa memproduksi listrik dengan biaya murah.
"PLTU Tanjung Jati B Unit 1 dan 2, PLTU Batang, itu skema BOOT. Jadi setelah 25 tahun jadi milik negara. Harga listriknya tetap murah. Jadi enggak ada alasan skema BOOT membuat bisnis ini jadi enggak menarik, enggak juga," ucapnya.
Pola kerja sama BOOT diwajibkan dalam semua PPA yang baru demi menjaga keandalan pasokan listrik. Ada kekhawatiran pembangkit listrik 'digusur' setelah puluhan tahun beroperasi karena lahannya akan dikonversi menjadi pemukiman, pusat perbelanjaan, dan sebagainya.
Bila pembangkit dipindah ke lokasi yang jauh, maka perlu dibangun jaringan baru. Semakin panjang jaringan, semakin jauh pembangkit dari masyarakat, maka keandalannya makin berkurang dan penyusutannya (losses) makin tinggi. Tak mudah juga mencari lahan baru untuk pembangkit listrik, apalagi kalau di kota-kota besar yang padat dan mahal harga tanahnya.
Demi menjaga keandalan dan efisiensi di sektor ketenagalistrikan, maka pembangkit dijadikan aset negara setelah kontraknya habis supaya tidak dikonversi.
"Tujuannya agar resources yang ada jangan sampai digunakan ke yang lain. Jangan sampai tanah itu berubah fungsi sehingga kita harus bangun pembangkit lain di tempat yang jauh, keandalan sistem jadi terganggu," tutupnya. (mca/wdl)