Menteri ESDM, Ignasius Jonan, tidak gentar atas ancaman tersebut. Menurutnya, sudah menjadi hak Freeport untuk melakukan gugatan ke arbitrase. Namun Jonan mengingatkan, pemerintah Indonesia juga bisa melakukan hal serupa.
"Ini sebenarnya mau berbisnis atau berperkara. Freeport itukan badan usaha jadi berbisnis. Tapi kalau dalam perundingan tidak sampai titik temu memang hak-hak masing-masing bawa ke badan Arbitrase. Tapi bukan hanya Freeport loh, pemerintah juga bisa," tutur Jonan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Bos Besar Freeport Ancam Gugat Pemerintah RI ke Arbitrase
IUPK berbeda dengan KK, dan posisi pemerintah sebagai pemberi izin lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. Sedangkan KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.
Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Pada 17 Februari 2017 lalu, Freeport Indonesia sudah bertemu dengan Pemerintah Indonesia untuk memberikan poin-poin keberatan. Kedua pihak ini pun memiliki waktu 120 hari sejak keesokan harinya untuk mencari win-win solution. Namun jika tidak mencapai titik temu, Freeport akan mengambil jalan arbritase.
Jonan menegaskan, pemerintah Indonesia tetap akan mengacu pada Undang-Undang yang berlaku. Dalam amanat UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, seluruh perusahaan pertambangan di Indonesia memang diwajibkan untuk membangun pabrik pemurnian alias smelter.
"Masing-masing pihak saya kira berusaha mencari jalan yang tidak melanggar perundangan yang ada dan (Perintah) tetap mengacu pada UU. Ini kan negara berdaulat, kalau negara berdaulat itu konstitusi," tegas Jonan. (wdl/wdl)