Freeport telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu, karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.
Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.
Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Untuk menyelesaikan masalah ini, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menawarkan 3 pilihan solusi kepada Freeport. Opsi pertama, Freeport menerima IUPK dan izin ekspor konsentrat yang sudah diberikan pemerintah sambil meneruskan negosiasi terkait stabilitas jangka panjang yang mereka inginkan.
Pilihan kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) direvisi, agar ada ruang untuk mengakomodasi keinginan Freeport. Lalu pilihan terakhir adalah bersengketa di Arbitrase.
Kemarin, President and CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C. Adkerson, menyebutkan pemerintah Indonesia telah menerima 60% manfaat finansial langsung dari operasi Freeport.
Baca juga: Bos Besar Freeport: Sejak 1992 Kami Setor Rp 214 T Untuk RI
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengatakan penerimaan negara dari Freeport jauh dibandingkan penerimaan negara dari cukai rokok yang sebesar Rp 139,5 triliun per tahun. "Sedangkan Freeport hanya Rp 8 triliun. Hanya bayar kewajiban Rp 8 triliun kok rewel," kata Jonan saat menghadiri Workshop dan Kuliah Umum Capacity Building Energi Baru Terbarukan (EBT) di Kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jalan Raya Tlogomas, Malang, Selasa (21/2/2017).
Pada kesempatan itu, Jonan juga menyampaikan, nilai jual Freeport saat ini sudah murah. Dia membandingkan PT Telkom Tbk nilai jualnya lebih mahal ketimbang Freeport.
"Freeport nilai jualnya tidak mahal, masih kalah dengan PT Telkom mencapai US$ 29 miliar," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Jonan juga menanggapi kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan yang akan dilakukan Freeport, karena berhenti beroperasi. Menurut Jonan, opsi PHK adalah pilihan terakhir bagi perusahaan.
"PHK itu pilihan terakhir, bukan utama. Jika perusahaan itu baik, tidak akan melakukannya," kata Jonan.
"Ada waktu enam bulan. Kalau mau berjalan tidak apa-apa, asal mereka komitmen. mungkin mereka sudah mengurangi produksi hingga merumahkan karyawan. Dirumahkan kan tetap dapat gaji, daripada mem-PHK akan mengeluarkan pesangon cukup besar," ujar Jonan.
Jonan mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah adalah sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Bila Freeport menolak, perusahaan ini bisa mengajukan keberatan ke parlemen dan meminta UU Minerba direvisi.
"Kalau masih keberatan ya ke parlemen, biar dikaji undang-undang minerbanya. Kita pemerintah mengacu kepada peraturan yang berlaku," beber mantan Menteri Perhubungan ini.
Terkait ancaman Freeport membawa persoalan ini ke Arbitase, Jonan tetap santai menanggapi. "Iya dihadapi, soal bagaimananya itu menyangkut strategi, masak mau diomongkan," celetuknya. (wdl/wdl)