Rombongan yang mendampingi Eltinus adalah Uskup Timika John Philip Saklil, Abraham Timang, Yohanes Deikme, Yeremias Imbiri, Yohan Zonggonao, Robertus Waropea, Prof Pribadiono, Petrus Pugiye, Beni Antono, Yustinus Sunyoto, Jarot Widanta, Tobias Maturbong, dan Yudhi I Wibowo.
Pertemuan dengan Jonan ini di antaranya membicarakan situasi di Mimika pasca penghentian operasi Tambang Grasberg pada 10 Februari 2017. Eltinus mengungkapkan, sejauh ini Freeport telah mem-PHK sekitar 1.100 pekerja dan merumahkan ribuan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi tak semua PHK itu merupakan dampak dari berhentinya kegiatan operasi dan produksi tambang Freeport. Menurutnya, perusahaan tambang raksasa dari Amerika Serikat (AS) itu sengaja memanfaatkan situasi untuk melakukan efisiensi, memberhentikan para pekerja yang memang sudah habis kontraknya dan para karyawan yang tidak berkelakuan baik.
"Kalau karyawan itu memang sebagian besar pekerja itu sudah dirumahkan sebagian. Kemudian kaitan kalau orang bilang PHK iu sebenarnya kontrak-kontrak yang sudah habis masanya, kemudian mereka yang kelakuannya tidak baik, orang-orang itu akan berhenti. Jadi itu sudah sampai seribuan lebih, sekitar 1.100. Dengan situasi ini sebenarnya Freeport ambil kesempatan untuk kasih berhenti ke mereka. Kemudian kalau yang mau dipakai terus dirumahkan," ujar Eltinus saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
Sampai saat ini, ia menambahkan, aktivitas perekonomian di Mimika masih dapat berjalan normal. Situasi sosial juga terkendali. Hanya saja, nasib ribuan pekerja Freeport yang menjadi korban PHK tak boleh diabaikan. Keluarga korban PHK kini mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Perekonomian ya seperti biasa. Kalau masalah ekonomi di kalangan pemerintah seperti biasa, tapi kan kalau untuk karyawan yang dirumahkan, untuk yang punya anak istri masalah rumah kos, sekolah anak, dan sebagainya," tukasnya.
Baca juga: Jonan Janjikan Jatah Saham Freeport ke Pemda Mimika
Uskup John Philip menambahkan, masyarakat dan gereja mendukung langkah pemerintah. Tapi nasib masyarakat lokal harus diperhatikan. Jangan sampai masalah berlarut-larut dan membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian.
"Kami dari kampung ulayat dan gereja sangat mendukung segala upaya untuk mempertegas kerja sama pemerintah dengan PT Freeport bahwa hak dan kewajiban masing-masing harus tegas dalam regulasi-regulasi. Tapi dalam urusan itu, kami minta supaya hak masyarakat ini juga harus mendapat perhatian sangat penting dari seluruh negosiasi itu. Dan Bapak Menteri juga mendukung untuk itu," ucapnya.
"Kami juga meminta pemerintah denga perusahaan menghentikan semua gerakan PHK pemberhentian karyawan, dan pemerintah harus bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat sampai ada kejelasan dalam Kontrak Karya," sambungnya.
Nasib pekerja Freeport
Menanggapi aspirasi masyarakat yang disampaikan Uskup John Philip, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Komunikasi, Hadi Djuraid, menjelaskan pemerintah sejak 10 Februari 2017 lalu sudah menerbitkan rekomendasi izin ekspor konsentrat agar operasi tambang Freeport tak terganggu.
"Kementerian ESDM sudah mengeluarkan rekomendasi izin ekspor agar Freeport bisa beroperasi kembali. Ini kita harapkan dimanfaatkan sehingga bisa meminimalkan dampak yang ditimbulkan," kata Hadi
Baca juga: Takut Jadi Pengangguran, Pekerja Freeport Demo di Papua
Hadi menyarankan Freeport menerima izin ekspor dari pemerintah agar aktivitas tambang kembali normal dan pekerja tak jadi korban.
"Kita himbau izin ekspor itu dimanfaatkan. Freeport jangan hanya berpikir kepentingan perusahaan, tapi juga masyarakat lebih luas," tambah Hadi.
Izin ekspor dari pemerintah paling tidak bisa menjadi solusi jangka pendek hingga 6 bulan ke depan. Selama 6 bulan itu, pemerintah dan Freeport dapat terus bernegosiasi mencari solusi. Freeport diperbolehkan untuk menerima IUPK dan izin ekspor konsentrat untuk sementara saja. Kalau tak puas dan ingin tetap menjadi pemegang KK, Freeport bisa mengembalikan lagi IUPK dan izin ekspor ke pemerintah.
"Paling tidak untuk jangka pendek selama 6 bulan. Kalau enggak cocok mereka bisa mengembalikan IUPK dan balik lagi ke KK. Tapi konsekuensinya mereka enggak bisa ekspor kalau kembali jadi peemegang KK," jelas Hadi.
Jika Freeport bersikeras menolak IUPK bahkan hanya untuk sementara saja, pemerintah siap menghadapi mereka di Arbitrase Internasional. Konsekuensinya, operasi tambang akan terhenti dalam waktu lama.
Hadi mengatakan, pemerintah tak akan membiarkan para pekerja Freeport terlantar. Jika sengketa berlanjut ke Arbitrase, pemerintah menyiapkan program supaya perekonomian Papua tak terganggu.
"Tentu kita punya opsi lain. Kita akan bicara lintas kementerian untuk bisa merespon hal tersebut dan itu sudah dilakukan. Dengan kalangan BUMN sudah dibicarakan. Prinsipnya kita antisipasi semaksimal mungkin," pungkas Hadi. (mca/hns)











































