Menurut Jonan, tantangan utama dalam pengembangan EBT adalah harganya yang mahal, sehingga kurang ekonomis untuk dikembangkan.
"Mungkin kita tidak dapat mencapai target EBT 23%, tapi kami coba mencapainya paling tidak 20%. Tantangannya adalah tarif," kata Jonan dalam sambutannya, saat meresmikan French Renewable Energy Group (FREG) di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (28/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif EBT yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 (Permen ESDM 12/2017) tak memuaskan semua pihak. Memang harus ada yang dikorbankan untuk sementara. Yang paling penting sekarang adalah tarif listrik yang efisien, soal apakah yang dipakai adalah sumber energi fosil atau EBT itu tak jadi soal.
"Pak Menteri kan juga melihat reaksi pasar. Tapi tolong digarisbawahi, apa yang menjadi kebijakan pemerintah sekarang ini kan untuk minimum tidak membuat harga listrik naik. Intinya jangan sampai rakyat menanggung harga listrik yang mahal," ucapnya.
Dengan harga listrik yang murah, masyarakat tak terbebani. Industri di dalam negeri juga bisa lebih kompetitif. Itulah sebabnya pengembangan EBT diupayakan harus efisien harganya. Kalau harganya belum bisa murah, untuk sementara dikesampingkan dulu.
"Kebijakan pemerintah ujungnya tak mau rakyat menderita. Pak Presiden juga ingin kita lebih kompetitif, artinya modal untuk produksi barang harus lebih murah, salah satunya dari biaya energi," pungkas Rida. (mca/wdl)











































