Investasi ini dilakukan oleh BUMN perminyakan Arab Saudi, Saudi Aramco. Adapun investasi yang dikucurkan berupa proyek pembangunan kilang minyak yang dilakukan Petronas.
Saudi Aramco bakal menanamkan investasi US$ 7 miliar ke proyek kilang minyak Petronas yang nilainya US$ 27 miliar. Proyek kilang minyak ini berdiri di selatan Johor, dekat perbatasan dengan Singapura.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masuknya Saudi Aramco sebagai partner Petronas bakal mendorong proyek ini dan positif bagi Malaysia. Bagi Aramco, proyek ini jadi outlet untuk penjualan minyaknya," kata Analis IHS Markit, Victor Shum, dilansir dari AFP, Kamis (2/3/2017).
Kilang tersebut bakal membuat Singapura dan Johor Selatan sebagai pusat kilang minyak dan petrokimia di Asia Tenggara. Proyek ini disebut-sebut bakal menciptakan ribuan lapangan kerja di Malaysia.
Pemerintah Malaysia sangat gembira dengan investasi ini, karena bakal meningkatkan daya saing Malaysia atas tetangganya, Singapura. Bagi Indonesia, apa dampaknya?
Saat ini PT Pertamina (Persero), BUMN perminyakan Indonesia, juga sedang menjalankan proyek-proyek kilang. Ada 4 proyek modifikasi atau Refinery Development Master Plan (RDMP) yang dikerjakan Pertamina untuk meningkatkan produksi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri yaitu RDMP Cilacap, Balongan, Dumai, dan Balikpapan.
Apabila seluruh RDMP ini selesai, maka kapasitas keempat kilang itu akan naik dari 820 ribu barel per hari (bph) menjadi 1,61 juta bph.
Selain itu, 2 kilang baru akan dibangun, yaitu Grass Root Refinery (GRR) Tuban dan Bontang. Masing-masing berkapasitas 300.000 bph. Semua proyek kilang ditargetkan selesai sebelum 2023. Kalau semuanya berjalan lancar, Indonesia tak lagi mengimpor BBM mulai 2023, bahkan bisa ekspor BBM.
Menurut seorang sumber detikFinance yang berlatar belakang pakar energi, kilang Petronas di Johor Selatan ini bakal menjadi saingan buat kilang-kilang Pertamina. Di pertengahan dekade 2020-an nanti, Pertamina dan Petronas akan berebut pasar regional, misalnya Filipina, Australia, dan negara-negara importir BBM di kawasan Asia Tenggara.
Ia mengungkapkan, Petronas kerap selangkah lebih maju dari Pertamina karena kewenangan yang lebih kuat dan birokrasi yang lebih pendek. Ketika Indonesia baru mau membangun kilang baru di Bontang, mereka sudah membangun duluan di Johor Selatan.
"Malaysia memang kompetitor kita dan decision making-nya lebih cepat dari kita. Dia mengamati terus kita mau ngapain. Kita mau bangun kilang, dia mulai duluan," tuturnya.
BUMN perminyakan Malaysia itu sangat memperhatikan gerak-gerik Pertamina. Celakanya, Pertamina kerap terlambat karena ruwetnya proses pengambilan keputusan, sehingga tertinggal dari sang rival. "Kita bolak balik ke Azerbaijan dorong Pertamina ke hulu di sana, dia (Petronas) beli duluan. Kita ke Iran, dia sudah buka kantor di sana," ucapnya.
Ke depan, pemerintah perlu memperkuat Pertamina sebagai satu-satunya National Oil Company (NOC) di negeri ini. Jangan sampai Pertamina terus tertinggal dari Petronas. "Malaysia cepat, tentu akan jadi kompetitor kita," tutupnya. (mca/wdl)