Sebab, harga BBG sebesar Rp 3.100/lsp yang ditetapkan pemerintah masih di bawah keekonomian. PGN rugi hampir Rp 1.500 dari tiap lsp BBG yang terjual.
"Idealnya kira-kira Rp 4.600 per liter (setara premium)," kata Direktur Komersial PGN, Danny Praditya, saat ditemui di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (12/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain harga BBG yang masih belum mencapai keekonomiannya, bisnis BBG yang dijalankan PGN juga masih belum untung karena kendaraan pengguna BBG di Indonesia tak banyak. Padahal, bisnis BBG butuh modal besar, untuk satu unit Mobile Refueling Unit (MRU) alias mobil pengisian BBG saja dibutuhkan dana investasi Rp 12 miliar.
Pihaknya meminta pemerintah membantu memperluas penggunaan BBG di sektor transportasi lewat kebihakan-kebijakan.
"Kita minta ke pemerintah, kalau kita siapkan infrastrukturnya, pemerintah siapkan marketnya, jadi kolaborasi positif. Kan ini kayak chicken and egg," ucapnya.
Saat ini PGN memiliki 10 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan 5 Mobile Refueling Unit (MRU) yang memasok bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, mulai dari bajaj, taksi, hingga mobil-mobil pribadi.
10 SPBG milik PGN yang beroperasi, antara lain SPBG Ancol, SPBG Batam, SPBG Bogor, SPBG Klender, SPBG Lampung, SPBG Ngagel, SPBG Pondok Ungu, SPBG Purwakarta, SPBG Kantor Pusat PGN, SPBG Sukabumi.
Sedangkan 5 MRU yang beroperasi, yaitu MRU Bandung, MRU Gresik, MRU Grogol, MRU Monas, MRU Pluit.
Penjualan BBG di 10 SPBG dan 5 MRU ini mencapai 7,5 juta liter setara premium (lsp) setiap tahun. Selain itu, PGN juga menyuplai BBG sebesar 3 juta lsp ke SPBG Pertamina. Jika dirata-rata, BBG dari PGN mampu mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) hingga 5 juta liter per bulan.
"Penjualan kita sekitar 7,5 juta lsp per tahun, ditambah kita suplai juga ke SPBG milik teman-teman kita Pertamina sekitar 3 juta lsp per bulan. Impor BBM berkurang kira-kira 4-5 juta liter per bulan," tutupnya. (mca/hns)