Dalam revisi itu, ada 1 pasal yang diubah, yaitu pasal 19 yang berisikan kewenangan pada Menteri ESDM untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi yang berlaku selama waktu tertentu dalam rangka penyesuaian kelanjutan operasi.
Aturan ini tidak hanya berlaku untuk PT Freeport Indonesia, namun untuk seluruh perusahaan tambang pemegang kontrak karya di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, memang untuk Freeport akhirnya bisa mendapatkan IUPK selama 6 bulan sejak April 2017. Lewat IUPK ini, maka Freeport bisa mendapatkan izin ekspor, dan menyelamatkan sementara kegiatan operasinya yang sempat terhenti. Dalam 6 bulan, pemerintah dan Freeport terus melakukan negosiasi untuk kepastian usaha Freeport sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
"Revisi Peraturan Menteri nomor 5 itu ditujukan untuk begini, apabila semua pemegang kontrak karya itu kan kalau dia mau ekspor harus bangun smelter, harus pindah ke IUPK. Kalau nanti dalam 6 bulan kita cek mereka tidak bangun ya sudah kita kembalikan ke kontrak karya selama masa konsensinya. Misalnya kalau Freeport cuma 2021 ya sudah kita kembalikan kontrak karya dia tidak bisa ekspor lagi kalau tidak ada pemurnian," tutur Jonan di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (11/4/2017).
Baca juga: Penjelasan Lengkap ESDM Soal Pemberian IUPK ke Freeport
Artinya, bila dalam 6 bulan nanti Freeport tidak terlihat membangun smelter untuk pengolahan dan pemurnian, maka izin ekspor akan kembali dicabut hingga masa kontrak Freeport habis di 2021.
"Kalau dia tidak bangun smelter kita kembalikan karena kontrak karya itu haknya sampai masa konsensi loh. Kalau tidak mau kembalikan saja, tidak bisa ekspor, ya sudah begitu saja. Kok pusing," jelas Jonan. (wdl/ang)











































