Menanggapi permintaan itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan hal tersebut amat sulit diwujudkan. Bisa saja kalau pabrik pupuk didirikan di sebelah sumur gas.
"Kalau US$ 3/MMBtu ya sulit, kecuali pabrik pupuknya dibangun di wellhead," kata Jonan dalam Forum Gas Bumi Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika pabrik pupuk jauh dari sumber gas, tentu butuh pipa untuk mengalirkan gas sampai ke pabrik. Pasti ada biaya distribusi. Harga gas di hulu saja jarang ada yang US$ 3/MMBtu, apalagi ditambah biaya distribusi, tak mungkin hanya US$ 3/MMBtu sampai di pabrik pupuk.
"Kalau enggak di wellhead, mesti pakai pipanya PGN dan segala macam. Coba bangun di dekat wellhead. Kalau tidak, pasti gasnya tidak bisa murah," cetusnya.
Sebelumnya, pada September 2016 lalu Dirut PT Pupuk Indonesia (Persero), Aas Asikin Idat, menyambangi Kementerian Perindustrian membahas soal harga gas. Aas berharap harga gas untuk industri pupuk berkisar US$ 1-3/MMBtu.
"Harapannya kalau kita harus bersaing dengan dunia harus US$ 1-3 per MMBtu seperti pabrik internasional di dunia," ujar Aas.
Ia memprediksi, bila harga gas untuk industri pupuk turun menjadi US$ 1-3 per MMBtu dari US$ 6-7 per MMBtu saat ini maka harga pupuk Indonesia bisa bersaing karena turunnya cost atau biaya produksi.
Baca juga: Temui Menperin, Dirut Pupuk Indonesia Minta Harga Gas Turun Jadi US$ 1-3/MMBtu
"Dengan harga gas seperti itu nanti bisa bersaing, cukup besar, sekarang cost kita US$ 250 per ton bisa turun sampai US$ 45 per ton dengan penurunan harga gas," kata Aas.
Harga pupuk yang dijual di internasional, misalnya dari China, harganya US$ 200 per ton. Sedangkan dari Indonesia dijual sekitar US$ 240-US$ 250 per ton. Margin keuntungan sangat tipis akibat harga gas yang mahal. "Di dunia rata-rata US$ 200 per ton, di Indonesia sekitar harga pasar tapi cost kita lebih tinggi," ujar Aas. (mca/hns)











































