Ini Alasan PLN Pilih Pembangkit Mesin Gas untuk Melistriki Maluku-Papua

Ini Alasan PLN Pilih Pembangkit Mesin Gas untuk Melistriki Maluku-Papua

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 15 Mei 2017 20:25 WIB
Ilustrasi (Foto: Dana Aditiasari)
Jakarta - Di Program 35.000 MW, hampir semua pembangkit yang dibangun untuk menambah pasokan listrik di Maluku dan Papua adalah pembangkit listrik mesin gas (PLTMG) alias Mobile Power Plan (MPP).

Untuk Papua, hingga 2019 total ada tambahan 460 MW listrik dari PLTMG yang tersebar di 22 lokasi. Sedangkan untuk Maluku, dalam 3 tahun ke depan ada tambahan 395 MW dari sejumlah PLTMG.

Ada 3 alasan PLN memilih PLTMG untuk Maluku dan Papua. Pertama, PLTMG dapat dibangun dalam waktu singkat, bisa dikebut dalam beberapa bulan saja. Maluku dan Papua sangat membutuhkan tambahan pasokan listrik, tak bisa menunggu lama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"PLTMG secara konstruksi cepat sekali, kurang dari setahun. Mereka perlu cepat," kata Direktur Perencanaan PLN, Nicke Widyawati, dalam diskusi di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (15/5/2017).

Kedua, PLTMG adalah pembangkit yang mobile, bisa dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Maluku dan Papua butuh cadangan listrik dari pembangkit yang mobile karena jaringannya belum bagus, masih terpisah-pisah.

Berbeda dengan Jawa yang jaringan listriknya sudah terhubung satu sama lain di seluruh pulau, jaringan di Maluku dan Papua terpisah-pisah dalam banyak sistem kelistrikan. Kalau ada satu pembangkit yang terganggu di Jawa, ada pembangkit lain yang bisa menutup kekurangan pasokan karena jaringannya saling terhubung.

Di Maluku dan Papua, pembangkit listriknya yang harus bergerak karena jaringannya tidak terhubung. Itulah sebabnya PLTMG yang cocok untuk kedua pulau ini.

"PLTMG dipindahkan kalau daerah lain ada yang membutuhkan. Reserve margin bergerak. Kalau daerah lain ada pemadaman, ini bergerak," Nicke menerangkan.

Ketiga, PLTMG adalah pembangkit dual fuel, bisa menggunakan dua jenis bahan bakar, yaitu gas bumi dan solar Marine Fuel Oil (MFO). Jika pasokan gas terhambat, PLTMG masih bisa dioperasikan dengan MFO.

MFO lebih murah dari solar High Speed Diesel (HSD). Biaya pokok penyediaan (BPP) alias biaya produksi listrik dengan bahan bakar MFO hanya Rp 1.500/kWh, selisih Rp 300/kWh dibanding HSD yang mencapai Rp 1.800/kWh.

PLTMG bisa lebih efisien lagi kalau pakai gas, yaitu hanya Rp 1.100/kWh, hemat Rp 700/kWh dibanding HSD.

"PLTMG itu dual fuel. Kalau suplai gas terlambat, infrastruktur gas terlambat, kita bisa pakai MFO yang lebih murah dibanding HSD. BPP PLTD di atas Rp 1.800/kWh pakai HSD. Kalau MFO beda 300/kWh. Kalau pakai gas malah cuma 1.100/kWh," tutup Nicke. (dna/dna)

Hide Ads