Separuh dari cadangan tersebut terkonsentrasi di 3 tempat, yaitu Blok East Natuna 49,87 TSCF, Blok Masela 16,73 TSCF, dan IDD 2,66 TSCF. Ketiganya adalah ladang gas yang akan menjadi tulang punggung produksi nasional di masa depan.
Tapi produksi gas di East Natuna, Masela, dan IDD terancam molor dari jadwal. Pengembangan gas di 3 tempat tersebut mengalami berbagai kendala yang sudah bertahun-tahun tak berhasil diselesaikan pemerintah dari masa ke masa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut masalah dan perkembangan terakhir di ketiga ladang gas 'raksasa' itu, sebagaimana dirangkum detikFinance dari berbagai sumber:
Blok East Natuna
Cadangan gas Blok East Natuna sudah berhasil ditemukan sejak 1973 alias 44 tahun lalu, tapi sampai sekarang belum ada aktivitas fisik di sana. Padahal perairan Natuna bagian timur terancam dicaplok, China mengklaim daerah tersebut sebagai wilayahnya karena masuk dalam 9 garis batas di Laut Cina Selatan. Indonesia harus segera melakukan aktivitas di sana untuk menunjukkan kedaulatan.
East Natuna direncanakan mulai memproduksi gas hingga 1.000 MMSCFD pada 2027. Nilai proyeknya hingga memasuki tahap produksi saja diperkirakan sudah mencapai US$ 40 miliar alias Rp 520 triliun.
Kesulitan dalam pengembangan Blok East Natuna adalah kandungan CO2 yang mencapai 72% sehingga diperlukan teknologi khusus untuk memproduksi gasnya, biayanya pun pasti mahal. Di 2013 lalu, Pertamina sudah pernah mengajukan skenario ke pemerintah agar Blok East Natuna ekonomis untuk dikembangkan. Tapi pemerintah tak menyetujuinya.
Sekarang konsorsium yang terdiri dari Pertamina, ExxonMobil, dan PTT masih melakukan Technology and Marketing Review (TMR) Blok East Natuna. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) East Natuna ditargetkan bisa disusun dan ditandatangani pada 2018 setelah TMR selesai.
Jika berhasil dikembangkan, gas dari East Natuna dapat dialirkan melalui pipa transmisi ke Jawa melalui Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, maka akan banyak wilayah yang bisa menikmati pasokan gasnya. Industri bisa berkembang di sepanjang jalur pipa, begitu juga pembangkit listrik.
Blok Masela
PSC Blok Masela sudah ditandatangani oleh Inpex Corporation sejak 1998 alias 19 tahun silam. Cadangan gas yang terbukti sudah ditemukan melalui kegiatan eksplorasi pada 2006 atau lebih dari 1 dekade lalu.
Blok Masela awalnya ditargetkan mulai memproduksi gas sebesar 1.200 MMSCFD pada 2024. Nilai proyeknya diperkirakan mencapai US$ 30 miliar alias Rp 390 triliun, investasi yang sangat besar. Tapi dipastikan molor setidaknya 2 tahun karena Plan of Development (PoD) Masela harus direvisi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kilang LNG Masela dibangun di darat (onshore).
Perdebatan soal kilang LNG Masela sempat menyita perhatian publik pada awal 2016. Sudirman Said yang waktu itu Menteri ESDM dan Rizal Ramli yang ketika itu Menko Kemaritiman berpolemik keras di media massa. Sudirman ngotot kilang LNG dibangun di lepas pantai (offshore), sedangkan Rizal ingin onshore. Akhirnya pada Maret 2016 Jokowi memutuskan harus memakai skema onshore.
Setelah perdebatan soal onshore dan offshore berakhir, Masela tetap dirundung masalah. Yang teranyar, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar sempat menegur Inpex karena tak kunjung membuat Pre Front End Engineering Design (Pre-FEED). Pre-FEED adalah 'calon PoD', kalau tak segera dikerjakan maka proyek tak bisa segara mulai.
Inpex sendiri enggan memulai Pre-FEED karena belum jelasnya kapasitas kilang LNG yang akan dibangun dan lokasinya di pulau mana. Masalah selesai setelah 2 pekan lalu Jonan dan CEO Inpex menyepakati kapasitas dan lokasi kilang, sehingga Pre-FEED bisa dimulai.
Jika tak ada aral melintang, paling cepat gas dari Blok Masela baru akan mengalir pada 2026. Aktivitas fisik (Engineering Procurement and Construction/EPC) baru dimulai kira-kira 2022. Butuh kurang lebih 4 tahun untuk konstruksi.
Gas bumi dari Blok Masela rencananya dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia serta dilikuifasi menjadi LNG. Pembangunan kilang di darat diharapkan mampu memberikan multiplier effect bagi tumbuhnya industri, pengembangan kawasan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Indonesia Deepwater Development (IDD)
PoD Lapangan IDD telah disetujui pada tahun 2008, namun pada 2012 Chevron Indonesia Company meminta dilakukan perubahan PoD karena ada perubahan nilai investasi yang mencapai US$ 12 miliar.
Revisi PoD tersebut sampai sekarang belum diajukan ke pemerintah. Dengan jatuhnya harga minyak, bagi Chevron proyek IDD ini kalah dengan portofolio proyek di tempat lain. Saat ini yang baru dikembangkan hanya Lapangan Bangka.
Pengembangan lapangan IDD diharapkan akan menambah pasokan gas hingga 800 MMSCFD.
(mca/mkj)