Pada 2016, investasi di hulu migas nasional menurun 27% dibanding 2015, dari US$ 15,34 miliar menjadi US$ 11,15 miliar. Dengan kata lain, Indonesia kehilangan investasi sebesar US$ 4,19 miliar atau Rp 55 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300) dari hulu migas pada tahun lalu.
Penurunan investasi ini berimplikasi pada kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru. Semakin sedikit perusahaan hulu migas yang mau mencari minyak dan gas bumi di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait lesunya investasi di hulu migas, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan bahwa hal ini terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia saja. Di tengah harga minyak yang sedang rendah, perusahaan-perusahaan hulu migas memang memperketat pengeluaran, mengurangi investasi.
"Investasi hulu migas turun, di dunia turun 25%. Kita rata-rata di dunia," kata Arcandra dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Ia menambahkan, tren penurunan ini tak ada kaitannya dengan skema bagi hasil gross split yang diberlakukannya mulai awal tahun ini. Ia membantah anggapan bahwa skema gross split tidak menarik dan membuat investor mundur.
"Ibarat ada eksperimen kodok melompat. Dipotong kaki depannya satu, lalu disuruh lompat. Dipotong satu lagi, suruh lompat lagi. Begitu sampai kaki keempat, kodok tidak lompat lagi saat disuruh. Akhirnya disimpulkan kodok jadi budek kalau 4 kakinya dipotong. Ini yang terjadi tentang gross split, dibilang investasi turun gara-gara gross split, padahal enggak ada hubungannya," paparnya.
Nyatanya, penurunan investasi di hulu migas sudah terjadi sejak sebelum skema gross split muncul. "Tahun lalu enggak ada 1 pun WK (Wilayah Kerja) migas yang laku dilelang. Belum ada gross split tahun lalu," ucapnya.
Arcandra juga berpendapat bahwa penurunan angka investasi hulu migas tak selalu buruk. Penurunan investasi hulu migas, katanya, juga terjadi karena pihaknya mendorong efisiensi biaya produksi minyak dan gas bumi di dalam negeri.
Arcandra menyebut penghematan dalam pengembangan Lapangan Jambaran-Tiung Biru sebagai contoh, biaya investasi yang awalnya mencapai US$ 2,05 miliar sekarang dipangkas hingga menjadi US$ 1,55 miliar, tapi produksi gasnya tetap 172 MMSCFD. Investasi turun, tapi harga gasnya jadi lebih murah.
"Kalau seandainya investasi 100 untuk mendapatkan minyak 1.000, kalau saya investasi turun jadi 50 tapi tetap dapat 100, itu prestasi bukan? Investasi turun karena capex (alokasi belanja modal) turun, tapi produksi sama. Mana yang lebih bagus? Ada beberapa capex yang kita turunkan, jadi jangan lihat besaran investasi saja. Jangan hanya lihat angka investasi turun, capex kita turunkan," tutupnya. (mca/dna)











































