LNG tersebut rencananya untuk bahan bakar pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas di beberapa wilayah Indonesia.
Terkait hal tersebut, Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan, menyatakan pihaknya sangat mempertimbangkan tawaran itu karena harga yang ditawarkan murah, sekitar US$ 3,8/MMBTU. Benarkah harga gas dari Singapura bisa murah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"US$ 3,8 itu biaya transportasi dan regasifikasi gas, belum termasuk harga LNG-nya," kata sumber tersebut, Rabu (23/8/2017).
Bila ditotal, harga gas impor asal Singapura tidak akan lebih murah dibanding gas dari dalam negeri. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, juga mengungkapkan hal senada.
Sebab, LNG harus dikapalkan dulu ke Indonesia, ada biaya shipping. Setelah sampai, LNG harus diregasifikasi, lalu dialirkan melalui pipa, ada tambahan biaya lagi.
Ia memberi gambaran, andai harga LNG dari Singapura hanya US$ 4/MMBTU saja, sampai ke pengguna akhir di Indonesia setidaknya jadi US$ 9/MMBTU. Tak lebih murah dibanding pasokan gas dari lokal.
"Misalkan US$ 4/MMBTU dari Singapura, tambah ongkos shipping US$ 1/MMBTU, biaya regasifikasi US$ 1,5/MMBTU, lalu tol fee US$ 1-2/MSCF, jadi US$ 8-9/MMBTU. Ujung-ujungnya sama saja dengan gas kita," ujarnya.
Sementara berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 (Permen ESDM 45/2017) tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik, impor gas baru dibolehkan apabila tidak ada pasokan gas dari dalam negeri yang harganya di bawah 14,5% Indonesian Crude Price (ICP).
Bila masih ada gas lokal yang di bawah 14,5% ICP, impor tidak diizinkan. Harga gas impor pun tidak boleh lebih dari 14,5% ICP sampai di pembangkit listrik.
Dengan harga minyak sekarang di kisaran US$ 50/barel, maka opsi impor baru dibuka kalau pembangkit listrik tidak bisa mendapat gas dari dalam negeri dengan harga di bawah US$ 7,25/MMBTU. Lalu kalau pilih gas impor, harganya harus di bawah US$ 7,25/MMBTU sampai di pembangkit listrik. (mca/wdl)