Keuangan Pertamina Seret, Pengamat: Jokowi Harus Naikkan Harga BBM

Keuangan Pertamina Seret, Pengamat: Jokowi Harus Naikkan Harga BBM

Selfie Miftahul Jannah - detikFinance
Senin, 23 Jul 2018 16:33 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Kondisi keuangan PT Pertamina dikabarkan tengah mengalami kesulitan. Hal tersebut membuat Pertamina hendak melepas hak partisipasi (participating interest) di sebagian asetnya.

Kabar ini pun menuai kontroversi hingga seribuan pekerja yang tergabung dalam FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) dengan melakukan aksi demo untuk menolak rencana itu.


Apa sih yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan Pertamina?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat Energi yang juga mantan staf khusus menteri ESDM, Said Didu menjelaskan, menteri-menteri yang bertanggung jawab atas hal ini harus merumuskan kebijakan dan menyampaikan risiko yang ada kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jokowi, kata Said DIdu, harus tahu bahwa ada langkah yang harus diambil untuk menyelamatkan Pertamina. Apakah menaikkan harga BBM atau menambah suntikan subsidi.

"Ada risiko yang sangat besar, yang harus dipilih ini harus keputusan presiden. Solusinya adalah menaikkan harga atau menaikkan subsidi. Tapi kalau lebih bagus itu kombinasi, naikkan sedikit harga. Untuk yang premium dan solar dan itu bisa diusulkan di APBNP," kata dia kepada detikFinance, Senin (23/2018).

Saat ini, Pertamina, harus menanggung selisih harga BBM lantaran pemerintah menahan kenaikan harga. Misal saja harga BBM seperti premium, saat ini ditahan di angka Rp 6.500/ liter sementara harga asli tanpa subsidi Rp 8.500/liter artinya Pertamina nombok Rp 2.000/liter.

Begitupun Didu menjelaskan untuk solar, pemerintah hanya memberikan subsidi Rp 500 untuk solar. Saat ini harga solar di pasaran dunia Rp 8.350/liter sementara pemerintah menekan harga Rp 5.150/ liter. Artinya selisih kekurangan dari solar dan premium ditanggung Pertamina.

Terlebih, saat ini penetapan harga BBM oleh pemerintah masih menggunakan acuan tahun 2015 yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

"Pelemahan kurs intinya tidak ekonomis maka harga jual akan dinaikkan makanya kan dulu tiap tiga bulan kan harganya ditinjau ya kan saat kebijakan ini ditetapkan harga minyaknya US$ 30-40/ barel kita menghitung bahwa selama masih US$ 50 /barel kurs Rp 13.000," kata dia.


Sementara itu kondisi saat ini harga minyak dunia ada di kisaran US$ 70/barel dengan kurs Rp 14.500/ dolar.

"Itu US$ 50 dollar per barel dengan kurs dollar Rp 13.000 ya. Nah sekarang harga minyak di atas US$ 70 per barel dan kurs rupiah Rp 14.500," kata dia.

"Kalau kata saya secara bertahap premium itu harus dihilangkan, karena tidak ada di negara manapun yang menjual Premium. Karena Premium ini nggak ada kilangnya lagi itu hanya campuran campuran aja, dan mohon maaf aja ada mafia dibalik premium," ujar dia. (dna/dna)

Hide Ads