Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan alasan kenapa Indonesia tak menunggu kontrak Freeport Indonesia habis di 2021 dan langsung mencaploknya.
"Gini cuma kita lihat ya secara akal sehat. Banyak yang mengatakan kenapa kita nggak ambil dan kita kelola sendiri, saya sepakat. Saya sepakat sekali tapi sampai hari ini belum ada bukti, kita pernah mengelola tambang sebegitu besar," kata Jonan kepada detikFinance dalam acara Blak-blakan, di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (31/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jonan mengatakan belum ada perusahaan di Indonesia yagn pernah mengelola tambang sebesar Freeport Indonesia. Melihat hal tersebut, maka diperkirakan Indonesia belum mampu mengelolanya sendiri.
"Semuanya yang bicara juga dengan segala hormat. Jadi kita nggak bisa men-judge dengan apa yang belum pernah kita lakukan. Memang kita nggak pernah kita lakukan memang secara teori kita bisa. Secara teori, praktiknya belum pernah ada," jelas Jonan.
Jika Freeport Indonesia hengkang dan operasional tambang berhenti, maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Kondisi tambang bawah tanah bisa bermasalah di kemudian hari.
"Kalau berhenti ini tambang bawah tanah ini mungkin kurang lebih ini terowongannya itu 500 kilometer (km). Kalau ini nggak diurus secara teknik pertambangan ini bisa bermaslah besar ambruk bisa gangguan macam-macam," ujar Jonan.
Selain mengantisipasi panjangnya proses administrasi, Jonan juga menjelaskan terowongan dan tambang di Papua tidak bisa dibiarkan lama. Jika proses pertambangan terhenti karena proses administrasi seperti habis kontrak, maka akan terjadi kerusakan. Jika kerusakan terjadi, perbaikan untuk mengelola tambang agar utuh kembali membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Akibatnya kalau nanti kalau lama berlarut- larut ini ongkosnya akan besar sekali. Kalau ditanya spesifik saya nggak tau tapi paling tidak ya miliaran," ujar dia.
Berhentinya operasi tambang juga mempengaruhi penerimaan negara. Selain itu, Freeport Indonesia juga memberikan kontribusi yang besar untuk ekonomi Kabupaten Mimika.
"Ini bisa ganggu ke penerimaan negara, ini ganggu ekonomi Papua, menganggu perekonomian Kabupaten Mimika dan sebagainya. Juga mengganggu iklim investasi asing di Indonesia," jelas dia.
Baca juga: IUPK Freeport Diperpanjang hingga 30 Agustus |
Lebih lanjut Jonan menjelaskan, jika proses pengambil alihan tambang dilakukan, maka Indonesia perlu membeli peralatan yang ditinggalkan PTFI.
"Karena di perjanjian ini bukan barang- barang milik negara loh ini. Lain dengan hulu migas, kalau hulu migas itu cos recovery jadi barangnya milik negara. Itu adalah barang Freeport, oke anda beli waktu itu kita nilai US$ 6 miliar itu bisa kita ambil semua. Ini barangnya saja tidak termasuk modal kerja. Kalau ditambah modal kerja dengan pengaturan manajemen lagi ya sama aja mungkin bisa US$ 7 miliar atau US$ 8 miliar. kira kira gitu,"
Saksikan juga video 'Blak-blakan Bos Freeport Jawab Isu Miring Divestasi Saham':