Namun bagi Freeport, pembuangan limbah operasional pertambangan (tailing) mereka justru tak ingin dicap horor. Sebaliknya, ia diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat.
Kini, dari 23 ribu hektar yang terdampak pembuangan limbah tailing, Freeport baru melakukan reklamasi dengan luas 800 hektar yang dilakukan sejak tahun 2000. Ini belum termasuk area penelitian di Mile 21 yang memiliki luas 100 hektar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Roberth Sarwom, General Superintendent Reclamation Biodiversity & Education Environmental PT Freeport Indonesia (PTFI) menjelaskan bahwa area penelitian di Mile 21 didirikan sejak tahun 1995.
Ada tiga tujuan utama dari tempat ini. Yaitu menumbuhkan tanaman, memproduksi tanaman, serta memastikan bahwa tanaman tersebut aman untuk bisa dikonsumsi.
Karena sampai hari ini, tailing milik Freeport dianggap berbahaya dan dicap sebagai limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Hanya saja menurut Robert, kategori B3 ini ada beberapa paramater.
"Tailing kami dari sisi kimia dan lainnya, tidak membuatnya sebagai B3. Tapi dari sisi volume itu yang menjadikannya B3. Kalau memang benar B3, tempat kita berdiri ini merupakan tempat pengendapan tailing dengan kurang lebih kedalamannya 7 meter, kalau dia berbahaya tak mungkin ada tumbuhan yang tumbuh di sini, dan kita tak bisa beraktivitas di sini. Tapi kenyataanya yang terjadi, berbagai macam kehidupan bisa hidup di sini (Mile 21-red.). papar Robert saat menerima kunjungan wartawan di Mile 21, Timika, Papua.
Nah, bicara soal volume, limbah tailing yang diproduksi Freeport sendiri mencapai 240-250 ribu ton per hari, yang kemudian diendapkan di suatu kawasan seluas 23 ribu hektar. Tempat ini memang sengaja dibuat dan diklaim telah mendapatkan izin untuk menampung gelontoran limbah pertambangan tersebut.
Aliran sungai yang menjadi tempat penampungan ini dibatasi oleh dua tanggul utama: tanggul barat dengan panjang 52 km yang juga berfungsi sebagai jalan serta tanggul timur yang memiliki panjang 54 km.
Pun demikian, pada prakteknya di lapangan, tak semua tailing mengendap di sungai. Saking besarnya volume maka tak sedikit juga yang sampai ke laut, sehingga menyebabkan pendangkalan di muara serta meluber dan mematikan hutan-hutan di sekitarnya.
"Karena ini kan dialirkan melalui sistem aliran sungai, dan ketika tailing ini menutupi aliran sungainya maka airnya masuk ke kiri kanan ke hutan-hutan sehingga membuat hutan-hutan di situ jadi terganggu. Jadi kasarnya dulunya hutan dan ketika tailing masuk ke situ jadi kering kawasannya," ungkap Robert
Kembali bicara soal Mile 21, meski didirikan sejak tahun 1995 sebagai tempat penelitian, area ini baru intensif jadi area produktif menumbuhkan tanaman tepatnya setelah 5 tahun berselang, tepatnya di sekitar tahun 2000.
Banyak tanaman yang ditanam di lahan penelitian seluas 100 hektar ini. Ada sayuran, buah-buahan, umbi, termasuk tanaman jangka panjang semisal kelapa, hingga jeruk. Cuma area yang digunakan untuk bercocok tanam, peternakan dan kolam ikan cuma 40 hektar, dimana 30 hektar di antaranya untuk kebun buah-buahan.
Hasil produksi dari Mile 21 tak boleh dijual, melainkan cuma untuk dibagi-bagi untuk karyawan, tamu dan anak sekolah yang berkunjung. Padahal total panennya bisa hampir 1 ton tiap minggunya.
"Jadi kajian yang kita lakukan sejak tahun 1995, waktu itu baru ke tanaman tumbuh liar, dan tanaman tumbuh liar yang dikonsumsi binatang, dan kemudian kita mengkonsumsi binatang itu. Dan setelah itu baru kita produksi sendiri untuk dikaji," lanjut Robert.
Tanaman yang ditanam setiap bulannya diambil sampel untuk dianalisis di laboratorium dan dibandingkan dengan standar Baku Mutu dari Dirjen POM untuk kualitas makanan. Dan sampai saat ini masih berada di bawah ambang batas, sehingga masih aman untuk dikonsumsi.
"Kebetulan lab itu memang milik Freeport sendiri, jadi kalau kita ngomong gini kan dibilangnya 'lah itu kan punya Freeport, yang tinggal terserah mau diapain saja'. Tapi logikanya, saya sejak tahun 1995 di sini dan tiap hari mengkonsumsi buah dan sayuran dari sini, dan sampai saat ini belum jadi Iron Man," Robert berkelakar.
Selain tanaman, di Mile 21, Freeport juga coba mempertahankan keanekaragaman ekosistem. Salah satu yang tengah digalakkan adalah konservasi hewan yang bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam untuk menangani hewan sitaan yang dilindungi.
Hal ini terlihat dari kunjungan yang dilakukan oleh detikFinance ke lokasi Mile 21, terdapat kandang yang berisikan burung-burung khas Papua yang dilindungi. Di mana hewan ini kemudian tinggal menunggu waktu untuk dilepas kembali ke habitatnya di alam.
Baca juga: Mengintip Cara Freeport Mengelola Limbah |
Saksikan juga video ' Menengok Tambang Grasberg Freeport Sebelum Ditutup ':
(ash/fdl)