Mengintip Cara Freeport Mengelola Limbah

Mengintip Cara Freeport Mengelola Limbah

Ardhi Suryadhi - detikFinance
Jumat, 17 Agu 2018 13:40 WIB
Foto: Miningglobal.com/Istimewa
Timika - Freeport saat ini tengah digoyang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pembuangan limbah operasional pertambangan (tailing). Memang seperti apa sih pengelolaan limbah yang dilakukan Freeport?

Dijelaskan Roberth Sarwom, General Superintendent Reclamation Biodiversity & Education Environmental PT Freeport Indonesia (PTFI), Freeport pada intinya punya dua limbah utama dari aktivitas tambang yang dilakukannya di Grasberg, Timika, Papua.

Pertama, batuan penutup yang merupakan batuan yang menutupi batuan bijih. Batuan penutup ini hanya ada di Grasberg, di mana setelah batuan bijih ini diambil maka keluarlah limbah kedua yang disebut tailing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kalau tailing ini dihasilkan di atas tapi diendapkan menggunakan sistem aliran sungai. Setelah kami melakukan berbagai riset berdasarkan topografi dan jarak, ini (diendapkan melalui aliran sungai-red.) adalah cara yang paling memungkinkan," ujar Robert saat ditemui di area Mile 21, Timika, Papua.

Limbah tailing yang diproduksi Freeport sendiri mencapai 240-250 ribu ton per hari, yang kemudian diendapkan di suatu kawasan seluas 23 ribu hektar. Tempat ini memang sengaja dibuat dan diklaim telah mendapatkan izin untuk menampung gelontoran limbah pertambangan tersebut.

Aliran sungai yang menjadi tempat penampungan ini dibatasi oleh dua tanggul utama: tanggul barat dengan panjang 52 km yang juga berfungsi sebagai jalan serta tanggul timur yang memiliki panjang 54 km.

Pun demikian, pada prakteknya di lapangan, tak semua tailing mengendap di sungai. Saking besarnya volume maka tak sedikit juga yang sampai ke laut, sehingga menyebabkan pendangkalan di muara serta meluber dan mematikan hutan-hutan di sekitarnya.

"Karena ini kan dialirkan melalui sistem aliran sungai, dan ketika tailing ini menutupi aliran sungainya maka airnya masuk ke kiri kanan ke hutan-hutan sehingga membuat hutan-hutan di situ jadi terganggu. Jadi kasarnya dulunya hutan dan ketika tailing masuk ke situ jadi kering kawasannya," ungkap Robert

Selain itu, ia menambahkan, Pantai Selatan Papua yang berdekatan dengan lokasi tambang Freeport memang memiliki karakter berlumpur dan tidak ada palung yang dalam, sehingga pendangkalan akan terjadi dengan ada tidaknya gelontoran tailing. "Pasti akan dangkal," ujarnya.

Kini, dari 23 ribu hektar yang terdampak pembuangan limbah tailing, Freeport baru melakukan reklamasi dengan luas 800 hektar yang dilakukan sejak tahun 2000. Ini belum termasuk area penelitian di Mile 21 yang memiliki luas 100 hektar.


"Kalau di peraturannya kan reklamasi itu dilakukan setelah masa produksi. Tapi Freeport melakukan reklamasi justru sebelum masa produksi selesai. Itu bagian dari kajian jangka panjang kita (di Mile 21-red.) untuk menentukan tanaman yang cocok di tiap lahan tailing," lanjut Robert.

Pasalnya, karakteristik lahan tailing bisa berbeda-beda, ada yang sifatnya kasar, sedang, dan halus. Di mana karakteristik lahan ini bakal berpengaruh terhadap jenis tanaman yang cocok ditanam di lahan tersebut.

"Jadi kita teliti mana tanaman yang cocok di tiap lahan tailing. Misalnya, lahan yang kasar butuh tanaman pohon yang keras karena lebih kering seperti matoa, kayu besi, tanaman jangka panjang. Daerah muara yang tempatnya basah maka butuh tanaman yang menyukai air seperti mangrove. Sementara kalau lahan sedang maka cocoknya untuk tanaman pertanian, tapi ada tanaman keras juga yang cocok," Robert memaparkan.

Lantas, berapa lama hingga akhirnya lahan seluas 23 ribu hektar yang terdampak limbah pertambangan itu bisa direklamasi menjadi hutan kembali? Pihak Freeport tak bisa memastikannya, yang pasti butuh waktu bertahun-tahun.

Namun Robert meyakinkan bahwa tanaman untuk bisa tumbuh memerlukan waktu sekitar 5 tahun. Freeport sendiri sudah memiliki rencana pengelolaan limbah ini dalam dokumen Rencana Reklamasi Lima Tahunan mereka.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi perhatian khusus terhadap limbah operasional pertambangan (tailing) Freeport. Khususnya pembuangan tailing yang berujung ke laut.

"Jadi ada perubahan-perubahan yang mereka harus lakukan terutama yang disoroti oleh publik adalah soal tailing di laut, ya saya pasti fokus di ekosistem di lautnya terutama ke wilayah-wilayah penempatan tailing yang sekarang ada," kata Menteri LHK Siti Nurbaya di Istana Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (27/7/2018).

Hal ini yang harus dibenahi dan dicari solusinya agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah di kemudian harinya. KLHK juga sudah melakukan kajian terkait ekosistem dan teknologi pemanfaatan tailing Freeport Indonesia.

(ash/fdl)

Hide Ads