Kepala Humas UP Saguling, Agus Suryana, mengatakan PLTA Bengkok masih bisa beroperasi maksimal dari turbinnya yang berkapasitas 3x1,05 MW. Kendati begitu, semakin besarnya volume sampah dan sedimentasi, jadi ancaman untuk pembangkit yang dibangun tahun 1927 tersebut.
"Kendalanya itu sampah pertama, terutama sampah pasar atau sampah rumah tangga. Kalau sampah masuk, bisa merusak turbin, makanya kita ada kolam saringan di atas (Bendung Bantarkawi). Masalahnya, sampah ini semakin hari semakin banyak," ungkap Agus di PLTA Bengkok, Bandung, Jumat (19/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kolam tandon harian ini, air dialirkan lewat pipa pesat sepanjang 870 meter dari ketinggian lereng 102 meter ke 3 turbin di dalam rumah tua yang dijadikan power house. Menggunungnya sampah, membuat saluran di Bantarkawi seringkali mampet.
"Sampah ini kalau banyak menumpuk di aliran. Akibatnya, tenaga dari air untuk memutar turbin jadi berkurang, harusnya bisa buat tenaga dua (turbin), karena mampet tenaganya hanya cukup buat satu," ungkapnya.
![]() |
Dia menuturkan, di dua kolam yang difungsikan sebagai penyaring, pihaknya bisa mengumpulkan sampah hingga dua truk. Sampah-sampah tersebut berasal dari hulu, termasuk kotoran sapi yang berasal dari Lembang. Sampah maupun kotoran ternak, ditambah dengan kerusakan hutan, membuat sedimentasi semakin tinggi.
"Makanya setiap 3 bulan sekali kita lakukan pengurasan kolam, setiap hari kita lakukan pembersihan sampah. Kerusakan hutan juga mempercepat sedimentasi dan menguragi debit air. Dulu saat hutan masih bagus di atas (Lembang), tangkapan airnya masih sangat bagus, setelah hujan aliran airnya bisa besar sampai 3 hari. Sekarang, setelah hujan, paling air gedenya hanya bertahan dua jam, sudah hilang," ucap Agus.
Meski bukan lagi pembangkit utama, PLTA Bengkok masih menyuplai listrik untuk Kota Bandung. Listrik dari 3 turbinnya dialirkan lewat transmisi tegangan menengah 20 KV.
![]() |