"Kontrak yang menyandera dan menjerat seperti itu memang hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui negosiasi. Tak bisa diakhiri begitu saja," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Rabu (26/12/2018).
"Menurut hukum, setiap kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Kontrak hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui asas konsensual," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya kalau mau dipidanakan selambat-lambatnya ya tahun 2009," tambahnya.
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, FCX (Freeport McMoRan) dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara 'tidak wajar'. Interpretasi yang berbeda terkait kata 'tidak wajar' ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).
Mahfud menjelaskan, untuk itu pemerintah mengeluarkan UU No. 4/2009 tentang mineral dan batubara yang mengubah sistem KK menjadi izin usaha.
"Freeport menolak dan mengatakan UU itu hanya berlaku bagi perusahaan baru. Perjanjian hanya bisa berakhir dengan perjanjian baru. Itulah yang ditempuh oleh pemerintah."
"Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak membawa kasus ini ke arbitrase? Pemerintah sudah menyatakan siap ke arbitrase jika usaha mengambil 51% saham gagal. Tapi, masalahnya, jika kalah maka Indonesia akan kehilangan Freeport untuk selamanya, apalagi kasus pidananya sudah kedaluwarsa," pungkasnya.
Sebelumnya, Inalum menyayangkan asumsi-asumsi sesat yang beredar di publik seolah-olah pemerintah membeli barangnya sendiri.
"Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya namun berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri," ungkap Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A. Witular.
Rendi juga menjelaskan jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Sementara tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia. Selain itu, kata dia, dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90% ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI.
Menurutnya tidak ada jaminan pula Indonesia dapat memenangkan pengadilan arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Selain itu jika kalah pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
"Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis," lanjutnya.
Ia menegaskan, KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Inalum pada Jumat (21/12/2018) meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36% menjadi 51% dengan membayar US$ 3,85 miliar atau Rp 55 triliun. Inalum pun resmi menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041 tersebut.
Dengan beralihnya kepemilikan PTFI dari perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX) ke entitas Indonesia, operasional PTFI pun beralih dari KK ke Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK).
Tonton juga 'Pengamat: Divestasi 51% Saham Freeport Pilihan Terbaik':
(prf/hns)