Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, sebagian besar dari masyarakat yang mengungsi ke mal tak berbelanja.
"Untuk mereka yang datang ke mal karena di rumahnya padam (listrik) itu bukan untuk berbelanja. Tetapi mereka sebagian besar adalah yang memang sedang ada janjian atau pertemuan, atau memang sedang berada di mal tersebut. Sehingga setelah diketahui bahwa ada pemadaman listrik, maka mereka stay pada mal tersebut," terang Roy kepada detikFinance, Senin (5/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu digarisbawahi bahwa jumlah mereka yang datang ke mal karena lampu padam dan berteduh di mal atau pusat belanja tidak besar atau signifikan jumlahnya, dibandingkan mereka yang tetap stay di rumah saja," jelas Roy.
Pengusaha mal tersebut tak mengantongi peningkatan pendapatan. Bahkan, sebelumnya Roy mengatakan kerugian pengusaha ritel modern yang disebabkan listrik padam massal ini mencapai lebih dari Rp 200 miliar.
"Bisa dihitung lebih dari Rp 200 miliar untuk potensi kerugian akibat tidak adanya transaksi di toko-toko ritel modern dengan padamnya listrik ini," ungkapnya.
Ia mengatakan, mal pada umumnya memang menyediakan genset untuk memasok listrik dalam keadaan darurat. Namun, pasokan listrik pun terbatas untuk penerangan. Sehingga, aspek kenyamanan beraktivitas dalam mal pun berkurang saat listrik padam.
"Kerugian jelas sangat besar karena kita ketahui bahwa konsumen ketika ingin berbelanja tentu kan mereka ingin suasana yang nyaman, yang terang, tak ada kesulitan ketika masuk ke mal atau ke toko. Tapi ketika seperti ini, pengunjung cepat merasa tidak betah karena AC dikurangi, pintu dikurangi, itu lah yang terjadi. Genset itu kan terbatas, karena biasanya hanya digunakan untuk menyalakan lampu saja, bukan AC," imbuh dia.
Untuk itu, Roy mengatakan pihaknya menginginkan adanya insentif untuk mengganti kerugian mereka. Pasalnya, ia mengatakan peritel di dalam mal berkewajiban membayar tagihan listrik yang lebih mahal dibandingkan rumah tangga biasa dengan adanya biaya servis dan juga layanan dari mal.
"Kita sangat berharap adanya satu insentif bagi kita untuk menggantikan hal tersebut. Karena toko-toko ritel modern di mal bayar listriknya lebih mahal, selain dikenakan tarif komersil kita juga harus membayar adanya biaya servis dan layanan dari mal. Jadi kita membayar listrik lebih mahal daripada rumah tangga," kata Roy.
(ara/ara)