Warga Gugat PLN Karena Ikan Koinya Mati, Bagaimana Aturannya?

Warga Gugat PLN Karena Ikan Koinya Mati, Bagaimana Aturannya?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 09 Agu 2019 12:47 WIB
Foto: Eko Susanto/detikcom
Jakarta - Dua warga Jakarta Selatan (Jaksel) Ariyo Bimmo dan Petrus CKL Bello menggugat PLN ke Pengadilan Negeri (PN) Jaksel karena ikan koinya mati. Kematian ikan koinya ini disebabkan oleh matinya listrik yang menyebabkan koi tak mendapatkan pasokan oksigen dan air bersih dari pompa. Lalu, bagaimana aturan yang memayungi kedua warga Jaksel tersebut untuk menggugat PLN?

Melalui pengacara kedua penggugat tersebut, David Tobing mengatakan, aturan yang memayungi gugatan kedua kliennya ini sudah diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

"Pertama kalau dari hukum perdata ada pasal 1365, itu tentang perbuatan melawan hukum (PMH). Nah unsur PMH itu salah satunya adalah bahwa yang melakukan perbuatan tersebut telah melanggar hak subyektif orang lain. Dalam hal ini, PLN telah melanggar hak dari pelanggannya yaitu mendapatkan aliran listrik terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik dimana itu diatur dalam undang-undang ketenagalistrikan," jelas David kepada detikFinance, Jumat (9/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dalam pasal 1365 KUHPerdata tersebut berbunyi, "Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."

Perlu diketahui, Ariyo Bimmo mengalami kerugian sebesar Rp 1,9 juta atas kematian tiga ikan koinya. Kemudian, Petrus CK Bello mengalami kerugian sebesar Rp 9,2 juta atas kematian ikan koinya. Sehingga, total kerugian yang harus diganti oleh PLN sebesar Rp 11,1 juta.

Sehingga, David mengatakan, PLN telah melanggar kewajibannya yaitu memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan dalam hal penyaluran listrik, serta penanganan yang baik dalam suatu masalah.

"Kemudian, dalam unsur PMH juga, si yang melanggar hukum ini (PLN) tidak melakukan kewajiban hukumnya yaitu memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan, dalam hal ini menyalurkan listrik dan melakukan penanganan secara seksama terhadap masalah. Itu yang menjadi dasar gugatan," terang David.

Kemudian, David mengungkapkan jalur hukum yang ditempuh kliennya juga merupakan gugatan sederhana atau small claim court (SCC) agar segera diketuk hakim. SCC itu diatur oleh Peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

SCC itu diadili dalam tempo 7 hari dan maksimal 25 hari. Dalam sidang, penggugat hanya boleh meminta ganti rugi materil, tidak boleh meminta kerugian immateril. Dengan menggunakan model gugatan SCC itu, diharapkan pengadilan bisa cepat dan segera memberikan ganti rugi kepada para konsumen yang dirugikan akibat pemadaman listrik. Gugatan sederhana ini pun ditempuh karena klien dengan tergugat berdomisili yang sama.

"Dan yang kami pilih ini gugatan sederhana. Saya menyarankan gugatan ini karena memang syarat dari gugatan sederhana itu baik si penggugat dan tergugat harus berdomisili hukum yang sama. Karena PLN di Jaksel dan penggugat juga di Jaksel maka menggunakan gugatan sederhana yang dapat selesai dalam 25 hari atau tidak sampai sebulan," papar dia.


David mengatakan, saat ini pihaknya tengah menunggu panggilan sidang dari PN Jaksel. Menurutnya, pihaknya hanya akan menunggu keputusan pengadilan tanpa perlu menunggu tanggapan PLN terkait pemberitaan kasus ini.

"PLN belum ada yang menanggapi gugatan ini, dan kami tidak dalam kapasitas menunggu tanggapan mereka. Tidak perlu, biar saja keputusan pengadilan nanti. Karena kami sudah menggugat pengadilan ya kami menunggu proses di pengadilan," tandasnya.


(dna/dna)

Hide Ads