Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menjelaskan film yang dibuat oleh Dandhy Laksono melalui Watchdoc memang menampilkan aktifitas pertambangan yang tak bertanggung jawab.
Namun, Hendra mengungkapkan perusahaan tambang yang tergabung dalam APBI selalu bertanggung jawab dengan apa yang telah mereka lakukan. Yakni melakukan perbaikan dengan melakukan reklamasi untuk lubang bekas galian tambang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan, film Sexy Killers yang dibuat oleh Dandy membentuk persepsi publik jika pertambangan tak mengelola dengan benar. Jadi yang ditonjolkan hanya pengelolaan yang tak bertanggung jawab.
"Padahal banyak praktik yang bagus dan sesuai aturan yang dilakukan oleh pertambangan batu bara. Harusnya itu juga ditunjukkan," jelas dia.
Hendra mengatakan, selama ini dalam proses pengajuan izin ke pihak terkait. Perusahaan tambang selalu diminta untuk mencantumkan rencana perbaikan pasca penambangan. Termasuk timeline hingga biaya.
Hal ini akan mempengaruhi proses perizinan. "Jadi setiap tahun sebelum melaksanakan produksi kita perusahaan diminta buat rencana kerja, di situ sudah termasuk pengelolaan tambang, pasca penambangan, biaya reklamasi hingga pemberdayaan masyarakatnya seperti apa. Harus ditunjukkan, hal itu jadi dasar penerbitan izin," ujar dia.
Menurut Hendra, jika reklamasi tahun sebelumnya tidak dilakukan atau belum selesai, maka bukan tidak mungkin perizinan tak akan dikeluarkan.
(kil/fdl)