PT Geo Dipa Energi (Persero) atau GDE memberikan penjelasan mengenai sengketa dengan PT Bumi Gas Energi (BGE).
Menurut Direktur Utama GDE Riki Firmandha Ibrahim permasalahan sengketa tersebut telah selesai dan dinyatakan melalui putusan BANI No.922/II/ARB-BANI/2017 berdasarkan putusan MA No. 105.B/Pdt.Sus-Arbt/2018 tanggal 25 Januari 2019 jo. Putusan PN Jakarta Selatan No. 529/Pdt.G.ARB/2018/PN.Jkt.Sel, tanggal 4 September 2018.
Putusan MA tersebut sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat, secara yuridis normatif tidak tersedia upaya hukum yang terjadi antara GDE dengan BGE sudah dinyatakan selesai secara hukum dan tidak bisa dilakukan upaya lain secara hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, putusan BANI No.922/II/ARB-BANI/2017 tanggal 30 Mei 2018 sebagaimana telah didaftarkan pada PN Jakarta Selatan 20 Juni 2018, GDE telah memenangkan sengketa hukum karena BGE terbukti tidak memenuhi syarat kontrak sebagaimana ketentuan pasal 55 kontrak. Menurut UU Arbitrase, putusan BANI bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Putusan BANI ini diperkuat dengan ditolaknya permohonan pembatalan putusan BANI No.922/II/ARB-BANI/2017 yang diajukan BGE dengan adanya putusan kasasi MA No. 105.B/Pdt.Sus-Arbt/2019 tanggal 29 Januari 2019. Menurut ketentuan UU Arbitrase, Putusan MA ini memutus pada tingkat pertama dan akhir.
Riki juga menampiak adanya kejanggalan dan pelanggaran Tupoksi KPK sebagai lembaga anti rasuah.
"Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH M. Hum yang disampaikan di PN Jaksel pada saat persidangan permohonan pembatalan putusan BANI No.922/II/ARB-BANI/2017, selain memiliki fungsi penindakan, KPK juga memiliki fungsi pencegahan untuk menghindarkan terjadinya kerugian keuangan negara. Untuk itu, KPK berwenang untuk melakukan tindakan klarifikasi yang dimintakan BUMN untuk mencegah terjadinya kerugian keuangan negara," katanya.
Apakah dalam sengketa kasus GDE dan BGE tidak ada unsur kerugian negara karena murni business to business?
Menurut Riki, berdasarkan proposed term sheet yang disampaikan BGE kepada GDE, permintaan BGE dapat menimbulkan kerugian keuangan negara apabila dipenuhi GDE, antara lain penyerahan PLTP Patuha 1 yang sudah dibangun dan dioperasikan sendiri oleh GDE, serta permintaan BGE untuk mengubah skema kontrak BTOT menjadi BOT.
Riki juga menanggapi tudingan proyek PLTP Dieng Patuha tidak berjalan akibat tidak transparannya GDE yang menyatakan telah punya izin WKP dan IUP ataupun KOB dengan Pertamina.
"Geodipa telah memiliki legalitas pengusahaan panas bumi Dieng dan Patuha berdasarkan
UU Panas Bumi No. 27 tahun 2003 sebagaimana telah dicabut dengan UU Panas Bumi No. 21 Tahun 2014 sejak GDE didirikan tahun 2002. Hal ini sesuai dengan Legal Opinion dari Kejaksaan Agung RI," tanggapnya.
Ia juga menjelaskan soal BGE yang wanprestasi dan tidak dapat membangun PLTP Dieng Patuha.
Menurutnya, sesuai dengan putusan BANI No.922/II/ARB-BANI/2017 tanggal 30 Mei 2018 BGE tidak dapat membangun PLTP Dieng dan Patuha karena tidak dapat memenuhi ketentuan syarat efektif pasal 55 kontrak, sehingga progres pelaksanaan kontrak 0%.
"Adapun ketentuan pasal 55 kontrak, BGE harus menyampaikan adanya bukti first drawdown paling lambat tanggal 20 April 2005 yang kemudian tidak bisa dipenuhi oleh BGE," katanya.
Demikian hak jawab ini dibuat untuk menanggapi berita: https://finance.detik.com/energi/d-4852545/surat-permohonan-kpk-ke-hsbc-bisa-ganggu-iklim-investasi.
Namun menurut pihak BGE, dengan adanya 2 putusan BHT Kasasi No. 586 K/Pdt.Sus/2012 dan No. 105/Pdt.Sus-Arb/2019 yang bertentangan satu dengan yang lainnya, maka saat ini BGE sudah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, sehingga tidak benar pernyataan GDE yang menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai adanya.
Kata pengacara BGE, Kudri & Djamaris, BGE adalah pihak pemenang tender pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dieng - Patuha yang diadakan oleh GDE pada tahun 2003, dimana BGE dengan GDE telah membuat dan menandatangani Agreement No: KTR.001GDE/II/2005 dated 1st of February 2005 (Perjanjian KTR No. 001) dengan nilai kontrak sebesar US$ 488.888.889.
"Bahwa di dalam Perjanjian KTR No. 001 tersebut terdapat hak dan kewajiban para pihak di mana salah satunya kewajiban BGE adalah menunjukan bukti kepemilikan dana (drawdown) sesuai ketentuan Pasal 55. 1 Perjanjian KTR No. 001. Demikian juga sebaliknya, maka BGE menanyakan dan meminta salinan Legal Concessionary dan Possesion Right yakni Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama GDE sesuai Pasal 9.1 Perjanjian KTR No. 001," katanya.
Menurutnya, GDE tidak pernah bisa menunjukan konsesi ataupun WKP dan IUP kepada BGE sehingga menyebabkan penyandang dana (funder) BGE menunda hal ini sampai ditunaikan oleh GDE terlebih dahulu.
"Namun alih-alih memenuhi kewajibannya, GDE malah menggugat BGE ke Arbitrase BANI pada tahun 2007 dengan alasan wanprestasi tidak mengerjakan pembangunan PLTP Dieng-Patuha tersebut," tambahnya.
(ang/hns)