Presiden Direktur PT CPI Albert Simanjuntak mengatakan kerugian itu dihitung dari nilai minyak yang dicuri plus biaya perbaikan pipa yang dirusak oleh pencuri minyak. Dia mengatakan ada 72 kasus yang terjadi namun hanya 55 kasus saja yang berhasil ditangani.
"Kami ingin menekankan tantangan di 2019, itu kita di Blok Rokan ada ilegal tapping, total ada 72 kejadian tapi 55 kami intervesi yang ilegal tapping. Total kerugian 2019 perkiraan kita Rp 23 miliar berupa minyak yang dicuri dan perhitungan kasar untuk memperbaiki pipa yang dibolongin," ungkap Albert dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Senin (20/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ilegal tapping kami sudah bekerja sama dengan Polda Riau sepanjang operasi kami. Supaya lebih efektif penanganannya kerja sama ini kita bentuk, pelaku ilegal tapping semakin canggih," ungkap Albert.
Salah satu modusnya adalah membuat terowongan kecil di bawah pipa yang mengalirkan minyak produksi. Dari bawah terowongan, oknum pencuri melubangi pipa minyak.
Lubang tersebut disambungkan dengan paralon kecil dari bawah terowongan dan mengalirkan minyak cukup jauh dari lokasi pipa produksi.
"Contoh di 2019 pelaku membangun tunnel sepanjang 100 meter, hampir susah mendeteksinya. Nah ini polisi punya kemampuan mendeteksi itu," jelas Albert.
Tak cuma ilegal tapping
Bukan cuma ilegal tapping, pencurian minyak juga terjadi dengan bentuk ilegal drilling alias pemboran ilegal. Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan ilegal drilling sering terjadi di beberapa wilayah kerja perusahaannya.
Misalnya ada warga sekitar yang melakukan pemboran di kebun atau halaman rumahnya. Nanang menyebut hal praktek ini tidak sesuai dengan standar operasional perusahaan migas.
"Kita punya problem ilegal drilling. Ilegal drilling di area operasi kami. Misal di kebun atau halaman rumah yang secara koordinat di wilayah kerja kita. Ini tidak sesuai SOP oil company," kata Nanang.
Masalahnya, bukan cuma kerugian minyak yang disedot tanpa izin saja. Dengan praktek pemboran yang tak sesuai standar dinilai cukup berbahaya. Bahkan kecelakaan sudah kerap kali terjadi dan memakan korban jiwa.
"Mungkin mereka menganggap sama dengan air. Padahal migas bertekanan dan flamabale. Beberapa kali terjadi kecelakaan kerja sampai ada yg meninggal," sebut Nanang.
(fdl/fdl)