Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) menyayangkan keputusan pemerintah yang melarang ekspor nikel. Keputusan ini sangat berdampak bagi pengusaha di sektor pertambangan maupun energi.
Ketua Umum BPP HIPMI Mardani Maming mengatakan, banyak pengusaha tambang kebingungan menjual nikel dengan kadar 1,7%. Sedangkan smelter dalam negeri hanya menerima kualitas nikel dengan kadar 1,8%.
"Dampak ditahannya atau disetopnya ekspor tidak boleh keluar negeri sangat berdampak sekali kepada khususnya pengusaha nikel, khususnya pengusaha tambang. Di mana pengusaha tambang yang mengirim kadar 1,7% sekarang lagi kebingungan bawa barangnya ke mana. Padahal smelter hanya menerima barang dengan kualitas 1,8%," kata Mardani dalam acara 'Prospek Industri Nikel Dalam Negeri' di Sahid Sudirman Center, Jakarta, Jumat (28/2/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mardani meminta kepada pemerintah agar segera menetapkan harga nikel berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM). Ia pun menyambut baik keputusan pemerintah jika menetapkan harga nikel US$ 30 per metrik ton.
"Ini lah yang kita perjuangkan bersama-sama untuk pemerintah hadir mengambil jalan tengah bagaimana caranya HPM betul-betul dipatok tidak merugikan penambang dan smelter. Kemarin baru disampaikan katanya sudah disepakati harga nikel HPM itu US$ 30 per metrik ton. Ini sudah menjadi berita baik bagi kita pengusaha tambang," imbuhnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta agar pemerintah menetapkan surveyor dari kedua belah pihak antara pemilik smelter dengan pengusaha tambang. Penambang merasa tidak adil dalam bisnis jika surveyor hanya dari pihak smelter.
"Kualitas barang kadar 1,8% kurang 0,1 saja kita kena penalti US$ 7. Di mana surveyor itu yang menentukan kita dipenalti atau tidak. Bagaimana bisa bisnisnya adil kalau yang memberi surveyor hanya si pemilik smelter. Mestinya si penambang juga berhak menunjuk surveyor yang nanti akan menjadi acuan apabila terjadi perselisihan," pintanya.
(ara/ara)