Pandemi COVID-19 berdampak pada kinerja operasional dan keuangan perusahaan, namun PT Pertamina (Persero) tetap melanjutkan pembangunan kilang. Hal ini terkait proyek tersebut sangat strategis untuk masa depan pemenuhan energi nasional.
Direktur Megaproyek Pengolahan & Petrokimia, Ignatius Tallulembang menjelaskan, pembangunan kilang merupakan keharusan dan keniscayaan bagi suatu negara. Secara global, hampir semua negara dengan populasi besar mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik secara mandiri guna menjamin ketersediaan energi atau security of supply.
"Langkah tersebut tidak bisa ditawar. Bahkan pada negara yang tidak menghasilkan crude sekalipun mereka juga tetap memprioritaskan membangun kilang. Sehingga di negara maju, umumnya mereka untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menggunakan produksi dalam kilang sendiri dan telah zero import," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, Singapura dengan penduduk sebanyak 5 juta orang, memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari Angka tersebut lebih besar dari kapasitas produksi kilang Indonesia yang saat ini hanya sekitar 1 juta barel per hari. Namun, hal tersebut dapat dipahami karena keberadaan kilang memiliki profitabilitas yang tinggi.
"Kami juga telah melakukan kajian dan evaluasi. Hasilnya, membangun kilang akan memberikan nilai tambah atau profitabilitas baik bagi perusahaan maupun negara," imbuhnya.
Terkait arti strategis, Ignatius memaparkan, proyek yang digagas sejak sekitar tahun 2014 dilatarbelakangi sejumlah persoalan energi yang dihadapi Indonesia. Adapun proyek tersebut berupa upgrading kilang eksisting atau Refinery Development Master Plan (RDMP), dan pembangunan kilang baru atau dan Grass Root Refinery (GRR) Pertamina.
Dalam memenuhi optimum capacity kilang, crude yang diperlukan tidak hanya dari dalam negeri saja, tetapi juga dari luar negeri. Sebagian besar crude impor merupakan sour crude dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sementara kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude, yaitu crude yang memiliki kandungan sulfur lebih rendah.
"Karenanya, kilang kita perlu penyesuaian agar lebih mudah dan efisien dalam mengolah crude dalam maupun luar negeri," tegasnya.
Lebih lanjut, Ignatius menegaskan, hal tersebut juga berhubungan dengan kondisi kilang Indonesia yang sebagian besar sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas lebih rendah sehingga perlu segera dilakukan modifikasi untuk meningkatkan daya saingnya.
Tantangan lain terkait pembangunan kilang yakini menyangkut supply and demand. Saat ini Pertamina memiliki 5 kilang dengan total produksi BBM sekitar 680 ribu barel per hari yang berada di Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju dan satu kilang kecil di Sorong. Sementara, konsumsi BBM nasional sejak tahun 2017 telah mencapai 1,4 juta barel per hari.
"Artinya ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM masih tinggi. Meski sejak kuartal pertama tahun 2019 Pertamina sudah berhasil untuk tidak mengimpor Solar dan Avtur, namun impor untuk produk lain masih diperlukan" jelasnya.
Ignatius juga menambahkan, Indonesia harus segera memaksimalkan jumlah produksi BBM dengan spesifikasi lebih tinggi dan lebih ramah lingkungan. Pengembangan dan pembangunan kilang Indonesia menjadi sebuah keharusan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi untuk Indonesia.
"Kita harus genjot produksi BBM dengan standar yang lebih tinggi yakni Euro 4 dan 5, paralel dengan upaya Pertamina untuk terus mendorong masyarakat menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan seperti Pertamax dan Pertamax Turbo," pungkasnya.
(mul/ega)