Harga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia saat ini masih relatif lebih mahal dibanding negara lain seperti China. Hal itu membuat pertumbuhan energi ramah lingkungan tersebut masih relatif kecil.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) F.X Sutijastoto menjelaskan harga rata-rata panel surya di Indonesia adalah US$ 1 per Watt peak (Wp). Padahal di China hanya 20-30 sen per 1 Wp.
"Sebagai perbandingan itu rata-rata di kita sekarang solar panel itu masih sekitar US$ 1 per Watt peak, di China sudah 30 bahkan 20 sen per Watt peak," kata dia dalam konferensi pers virtual, Selasa (28/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahalnya harga panel surya di Indonesia disebabkan oleh skala keekonomiannya yang tinggi. Hal itu dipengaruhi oleh skala produksinya yang masih rendah.
Terlebih, pabrikan-pabrikan panel surya di Indonesia, bahan bakunya seperti solar cell masih impor. Impornya pun kata dia dalam skala kecil sehingga biayanya menjadi mahal.
"Nah kalau di China, pabrikan-pabrikan itu kapasitasnya bisa 500 mega bahkan 1.000 mega, di kita masih 40an mega," sebutnya.
Pihaknya pun sedang menyiapkan regulasi untuk membuat skala keekonomiannya panel surya ini menjadi lebih murah agar penetrasi pasarnya menjadi lebih besar.
Dia menjelaskan saat ini pemerintah sedang menyiapkan rancangan peraturan presiden (perpres) untuk mengatur harga keekonomian energi baru terbarukan (EBT) yang wajar, hingga insentif dan kompensasi.
"Inilah yang kita juga akan mengembangkan market ini sehingga dengan perpres ini market juga bisa berkembang," tambahnya.
(toy/dna)