Anggota Komisi VII DPR RI H Rudy Mas'ud menyoroti tugas BPH Migas yang belum dapat dilaksanakan yaitu mengatur dan menetapkan cadangan BBM Nasional. Menurutnya seharusnya cadangan nasional idealnya ada di atas 60 hari, namun saat ini masih ada di 20 hari.
"Pada saat harga minyak turun kemarin, harusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas cadangan BBM nasional, ini seharsunya yang kita pikirkan. perbaikan tangki dan storage menjadi prioritas dari Indonesia Barat hingga Indonesia Timur. Ini mestinya BPH Migas bersuara kencang," tegas H Rudy Mas'ud, dalam keterangan tertulis, Selasa (15/9/2020).
Hal itu ia ungkapkan dalam acara rapat dengar pendapat (RDP) antara BPH Migas dengan Komisi VII DPR RI secara tatap muka dan virtual di Ruang Rapat Komisi VII, Gedung DPR RI, Jakarta pada hari ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan H Rudy Mas'ud, Anggota Komisi VII DPR RI Willy Yosep mengatakan, dengan realitas Indonesia yang tidak memiliki cadangan energi nasional, ini menjadi masalah serius yang perlu dituntaskan. "Cadangan nasional sangat menakutkan kalau tidak sampai 60 hari atau 20 hari tidak sampai. Salah satu tugas Komisi VII yang artinya jangan sampai jadi bom waktu yang langsung kena kita," ungkapnya.
Kemudian terkait dengan pembangunan infrastruktur gas bumi, Anggota Komisi VII DPR RI Saadiah Uluputty menanyakan keseriusan BPH Migas dalam mendorong program pembangunan 190 Wilayah Jaringan Distribusi yang telah diusulkan oleh 25 Badan Usaha. "Apakah program ini belum terlaksana dengan baik karena belum ditetapkannya revisi RIJDGBN oleh Menteri ESDM, bagaimana upaya BPH Migas selain berkirim surat," ujar Saadiah Uluputty.
Menanggapi beragam hal tersebut, Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengungkapkan pihaknya sudah kehabisan suara baik lewat media maupun Anggota Komisi VII sebelumnya untuk menyakinkan tentang pentingnya cadangan BBM Nasional. Di mana sejak BPH Migas dibentuk 17 tahun lalu, Indonesia belum dapat mewujudkan memiliki cadangan energi nasional seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain.
Menurut Fanshurullah yang ada saat ini adalah cadangan operasional yang dimiliki oleh Badan Usaha yang diklaim sebagai cadangan nasional. Padahal cadangan BBM nasional merupakan amanat UU 22 tahun 2001 pasal 46 ayat 3.
"Kendalanya di mana, cadangan BBM nasional belum bisa kami wujudkan, ada aturan mesti ada ketetapan Menteri ESDM, mau 30 hari atau standar Eropa 3 bulan atau 90 hari," ungkapnya.
Fanshurullah mengatakan pada masa Menteri ESDM Ignasius Jonan draf aturan tersebut sudah pernah dibahas yang untuk mem-backup cadangan BBM nasional, mewajibkan 150 badan usaha niaga umum migas dengan cadangan minimal selama 30 hari. Namun, ia mengungkapkan hingga saat ini peraturan tersebut tak kunjung terbit karena adanya sejumlah pertimbangan dari Menteri ESDM sebelumnya.
"Menteri masih menahan, menteri sebelumnya, dengan argumen ini akan jadi beban badan usaha, akan dibebankan harga jual BBM. tapi kalau melihat kepentingan ketahanan BBM, ketahanan energi negara kita bisa kena bencana, ini menjadi keharusan apalagi ini amanah UU Migas," jelasnya.
Lebih lanjut Fanshurullah menjelaskan untuk memiliki cadangan energi nasional, harus ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah nantinya. Untuk cadangan energi selama 1 hari, berdasarkan simulasi BPH Migas dibutuhkan anggaran sekitar Rp1 triliun. Dengan demikian, dirinya pun berpendapat perlu opsi semacam investasi dari badan usaha niaga.
Terkait usulan pembangunan tangki dan depo di daerah 3T atau Indonesia timur, Fanshurullah sependapat dengan pembangunan tersebut. Menurutnya hal ini dapat mengurangi operasional badan usaha, mengurangi biaya angkut, sehingga harga jual lebih kompetitif.
"Bahkan kami punya opsi dengan dana iuran BPH Migas Rp1,3 triliun, dana BPH Migas bisa dibuat depot-depot di wilayah 3T yang mewajibkan badan usaha mengisi di sana. Uang ini balik lagi ke Negara. PNBP ini mempunyai multiplayer effect pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan PNBP juga," pungkasnya.
Sebagai informasi, rapat RDP antara BPH Migas dan Komisi VII DPR RI tersebut menghasilkan 8 kesimpulan yang dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI H. Eddy Soeparno yaitu:
1. Komisi Vll DPR RI mendesak Kepala BPH Migas untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap semua rencana pembangunan pipa gas di Indonesia khususnya terkait ketersediaan sumber gas dan calon shipper-nya.
2. Komisi VIl DPR RI mendesak Kepala BPH Migas untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi dalam rangka percepatan pembangunan pipa gas bumi Cirebon Semarang sehingga dapat selesai pada Februari 2022.
3. Komisi VIl DPR RI mendesak Kepala BPH Migas untuk mendorong pemenang lelang agar segera memulai pembangunan pipa gas bumi Kalimantan - Jawa 2, terutama pipa transmisi dari Kalimantan Timur ke Kalimantan Selatan yang merupakan bagian dari pipa gas bumi Trans Kalimantan dalam major project RPJMN 2020-2024.
4. Komisi VII DPR RI mendesak Kepala BPH Migas dalam mengawasi secara intensif pada percepatan pembangunan dan jaminan keberlangsungan supply BBM dalam mendukung program BBM Satu Harga di seluruh wilayah Indonesia khususnya pada daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
5. Komisi VII DPR RI melalui Kepala BPH Migas mendukung agar Menteri ESDM RI segera melakukan revisi Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 2799 K 11/ MEM/ 2012 terkait Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2012-2025 sebagai dasar pelaksanaan lelang ruas pipa gas transmisi dan wilayah jaringan distribusi (WJD).
6. Komisi VII DPR RI melalui Kepala BPH Migas mendukung agar Menteri ESDM RI segera membuat Peraturan Menteri terkait jumlah dan jenis cadangan BBM Nasional.
7. Komisi VIl DPR RI mendesak Kepala BPH Migas untuk melakukan pengawasan dan evaluasi implementasi program digitlisasi SPBU secara intensif agar penyelesaiannya dapat sesuai target dan meminimalisir penyelewengan, misalnya dengan pencatatan nomor polisi kendaraan menggunakan CCTV yang terintegrasi secara online dengan BPH Migas.
8. Komisi VIll DPR RI meminta Kepala BPH Migas untuk menyampaikan jawaban tertulis atas semua pertanyaan Anggota Komisi VIl DPR RI dan disampaikan kepada Komisi Vill DPR RI paling lambat tanggal 22 September 2020.
(mul/mpr)