Menteri ESDM, Arifin Tasrif menjadi pembicara di Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions yang digelar International Energy Agency (IEA). Menurutnya agenda penting itu tak hanya untuk mempercepat pengurangan emisi, tapi juga melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam proses transisi energi.
"Untuk Indonesia, transisi energi merupakan inti pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Transisi energi sangat krusial dalam memastikan tujuanSDGs," tegas Arifin dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3/2021).
Menurutnya Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan transisi energi yang melibatkan masyarakat dan sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan pertama adalah reformasi subsidi energi sekaligus menjaga keterjangkauan dan keamanan pasokan energi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia telah bertransformasi dari rezim subsidi energi yang tidak efisien dan membebani menjadi kebijakan yang lebih efektif dan efisien dengan memanfaatkan lebih banyak sumber energi dalam negeri terutama gas alam dan energi terbarukan untuk mengurangi masalah neraca perdagangan," tuturnya.
Di samping itu, pemerintah juga telah menjalankan program mandatori biodiesel 30% (B30) yang dinilai sangat penting untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Pemerintah tidak hanya memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati untuk mengurangi emisi, namun juga mencatat peluang untuk pembangunan ekonomi yang lebih besar.
"Target transisi energi kami ditetapkan dengan target yang ambisius menuju energi bersih. Saat ini Indonesia tengah mengembangkan co-firing biomassa pada beberapa pembangkit listrik, dan berusaha untuk memperluas skala penggunaan teknologi ini. Kami juga mengevaluasi potensi kombinasi antara clean coal technology, co-firing biomassa, dan CCS/CCUS (carbon capture, utilization, and storage)," paparnya.
Saat ini Indonesia juga ingin berpartisipasi dalam pengembangan kendaraan listrik dan industri energi lanjutan. Transisi menuju energi yang bersih dan berkelanjutan membutuhkan banyak sumber daya mineral, sebagai sumber daya pada industri teknologi bersih dan terbarukan.
"Strategi kami juga berfokus untuk meningkatkan industriekstraktif yang memiliki nilai tambah, termasuk industri mineral guna mendukung pengembangan industri dalam negeri, inovasi teknologi, dan penciptaan lapangan kerja," jelasnya.
Arifin berharap komisi ini akan melibatkan negara-negara untuk melakukan kerja sama dan kemiraan konstruktir pada transisi energi. Indonesia pun terbuka untuk membangun kemitraan dalam mengembangkan program industri ekstraktif hilir. Ia mengatakan komisi ini perlu melibatkan banyak partisikasi negara berkembang atau ekonomi berkembang, karena akan menjadi masukan penting menuju COP26 Glasgow tahun ini.
"Di masa depan, proses transisi energi memberlakukan standar yang lebih canggih pada lingkungan, sosial dan tata kelola. Oleh karena itu, negara berkembang akan menghadapi beberapa tantangan di sektor pendanaan. Tetapi bukan hanya dukungan keuangan, komisi ini juga akan membantu negara-negara dengan seperangkat rekomendasi kebijakan, studi dan penilaian manfaat sosio-ekonomi, politik-ekonomi dan teknologi dari transisi yang adil dalam konteks yang lebih luas," pungkasnya.
(ega/ega)