Mengintip Rencana Pemerintah Rombak Aturan PLTS Atap

Mengintip Rencana Pemerintah Rombak Aturan PLTS Atap

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 19 Agu 2021 21:35 WIB
Pemakaian PLTS di Airport Operation Control Center (AOCC) Bandara Soekarno Hatta
Foto: Dok. PT Angkasa Pura II
Jakarta -

Pemerintah harus mencari jalan tengah terkait rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 terkait penggunaan sistem PLTS atap agar tidak ada pihak yang dirugikan. Pasalnya, berkembang wacana, pemerintah akan mengubah rasio ekspor impor listrik dari semula 65% menjadi 100%.

Dengan begitu, PLN mesti membeli 100% harga listrik yang dijual pelanggan PLTS atap. Padahal, listrik jika dititipkan harus dibayar karena masuk ke jaringan PLN.

"Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama," kata Mukhtasor, mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014)dalam keterangan tertulis, Kamis (20/8/2021).

Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Dia mengatakan, PLTS atap penggunaannya mahal, namun pemakaiannya masih sedikit. Kondisi ini bisa membuat portofolio PLN tidak bagus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tarif maka harga akan naik dan ada risiko over supply," katanya.

Sementara, jika selisih harga listrik PLTS atap dibayar oleh APBN itu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT.

ADVERTISEMENT

Menurut Mukhtasor, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, sehingga kalau pasang PLTS atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan diganggu.

"Jangan sampai nasib EBT ke depan seperti migas. Kalau migas kemandirian energi itu tidak tampak. Itulah yang dipesankan oleh Bung Hatta yang namanya pembangunan negara dan capital makin lama makin besar," kata dia.

Sunarsip, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, mengatakan kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya sedang berlebih (over capacity). Menurutnya, jika muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT, apalagi PLTS atap, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

"Jangan sampai pengembangan masif PLTS atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%," ungkap dia.

Menurut Sunarsip, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain.

Chrisnawan Aditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang. Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain. Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%.

"PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya," kata dia.

Menurut dia, berdasarkan survei nilai ekspor dari PLTS atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor.

"Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun," kata dia.

(acd/dna)

Hide Ads