Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi EBT harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target 'zero carbon' tercapai pada 2060.
"Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," katanya.
Di sisi lain, ia mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki roadmap energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target zero energy carbon. Terpenting adalah pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan transisi ke EBT pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Meski demikian, ia menilai harus melihat kesiapan dari pemanfaatan energi tersebut.
"Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal," kata Mamit.
Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari batu bara.
Saat ini harga EBT masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara.
Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT.
"Memang transisi itu akan tetap ada dan terjadi, sehingga bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan," ujarnya.
(acd/ara)