Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menjadi komitmen pemerintah untuk mewujudkan non emisi karbon (net zero emission/NZE) selambat-lambatnya pada 2060. Namun pemanfaatan EBT berpotensi membuat tarif dasar listrik (TDL) naik.
Kenaikan TDL bisa terjadi karena biaya untuk memproduksi listrik energi baru terbarukan masih relatif mahal. Jauh lebih murah listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Oleh karena itu, perlu ada subsidi dari pemerintah kepada masyarakat.
"Memang kalau memang misalnya pemerintah yang akan menanggung beban tersebut, maka secara otomatis pemerintah akan kembali memberikan subsidi terkait dengan tarif dasar listrik kepada PLN," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada detikcom, Minggu (24/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, masyarakat tidak akan mengalami dampak kenaikan tarif listrik imbas transisi energi fosil menuju energi terbarukan. Namun, anggaran untuk subsidi listrik dipastikan akan membengkak.
Andai kata keuangan negara tidak memadai untuk menutupi kenaikan TDL 100%, menurut Mamit mungkin saja pemerintah hanya menanggung subsidi sebagian. Artinya sebagian lagi dibebankan ke masyarakat.
Baca juga: PLTU Kena Pajak Karbon, Apa Dampaknya? |
Tentunya dengan mekanisme semacam itu masyarakat akan merasakan kenaikan tarif listrik meskipun tidak setinggi bila tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun.
"Mungkin nanti 50:50 misalnya ditetapkan subsidi sekian, sisanya nanti pemerintah akan menaikkan TDL," ujarnya.
Pemerintah pun telah menyatakan komitmen untuk menghilangkan keberadaan pembangkit listrik tenaga fosil. Mulai 2030 tidak ada lagi izin pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil. Targetnya seluruh pembangkit listrik akan bersumber dari energi baru terbarukan mulai 2060.
(toy/dna)