Pemerintah akan menerapkan pajak karbon sejalan dengan disahkannya Undang-undang Harmoninasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana yakin, aturan ini akan mendorong pemanfaatan sumber energi baru terbarukan.
"Sekarang kan undang-undangnya sudah disahkan ya, disahkan DPR bersama pemerintah untuk pajak karbon dan kami meyakini bahwa dalam prosesnya angka yang keluar sekarang yang Rp 30 per kg sudah dipertimbangkan sedemikian rupa. Ini nanti akan mendorong pemanfaatan EBT," katanya dalam konferensi pers, Jumat (22/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pajak ini akan dibayar bagi mereka yang melakukan aktivitas ekonomi. Dia bilang, jika pajak dibayar maka akan menambah biaya. Hal itu akan mendorong pemanfaatan EBT.
"Angka menurut saya angka ini, namanya PPN, PPN itu ditanggung oleh yang melakukan aktivitas ekonomi tersebut," katanya.
"Kalau memilih membayar, kan meningkatkan cost di situ atau mengurangi daya saingnya. Tinggal kita lihat nanti PLT EBT mana yang memang bisa untuk memastikan dari sisi keekonomiannya tetap sama," katanya.
Pihaknya pun akan memastikan peralihan ke EBT terjadi. Caranya, Kementerian ESDM nantinya akan menerapkan batasan atau capping pajak karbon.
Dadan memberikan ilustrasi di mana capping ini seperti penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang diterapkan pada pajak penghasilan.
"Nah di sini juga sama untuk pajak karbon nanti PLTU akan ada batasanya juga disebut dengan cap, maka disebutnya cap and tax, akan dibatasi di situ kontrol ini yang akan membuat kondisi 'Oh ini akan lebih baik kalau nanti bergeser ke EBT'," ujarnya.