Anggota Komisi VII DPR Muhammad Nasir mendesak agar PT PLN (Persero) berani bersaing di pasar untuk membeli batu bara di mana saat ini harganya melambung sampai US$ 153 per metric ton. Bahkan, ia sampai mengusulkan agar Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini diganti.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, langkah yang dilakukan Nasir 'salah alamat'. Sebab, harga batu bara ditetapkan oleh pemerintah.
"Cecaran dan ancaman anggota DPR terhadap Dirut PLN terkait harga jual batu bara kepada PLN sesungguhnya salah alamat karena penetapan harga batu bara dalam skema Domestic Market Obligation (DMO) ditetapkan oleh pemerintah. PLN sebagai operator hanya menjalankan keputusan pemerintah," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batubara harus dijual ke PLN. Sedangkan, Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$ 70 per metric ton untuk kalori 6.332 GAR.
Jika harga pasar di bawah US$70 per metric ton, harga jual batu bara ke PLN mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA) yang ditetapkan pemerintah. Menurutnya, kebijakan DMO untuk memenuhi kepentingan PLN dan pengusaha batu bara.
"Tujuan penetapan DMO harga batu bara adalah memenuhi kepentingan PLN, maupun kepentingan pengusaha batu bara, tanpa menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pembayaran royalty. Untuk itu, prinsip dalam penetapan DMO harga batu bara adalah berbagi keuntungan dan kerugian (share gain, share pain), dengan skema batas atas dan batas bawah (ceiling and floor price)," jelasnya.
"Pada saat harga batubara melambung tinggi, pengusaha menjual batubara ke PLN dengan harga batas atas (ceiling price) sebesar US$ 70 per metric ton. Sebaliknya, pada saat harga batu bara terpuruk rendah, maka PLN harus membeli batu bara dengan harga batas bawah (floor price) sesuai HBA ditetapkan," sambungnya.
Dia bilang, jika skema DMO dihapus maka PLN membeli batubara sesuai harga pasar. Dengan bauran energi sekitar 57% menggunakan batubara, pembelian batubara dengan harga US$ 153 per metric ton tentunya bisa menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik hingga 2 kali lipat di mana harga DMO sebesar US$ 70 per metric ton.
Jika tidak menaikkan tarif, PLN akan menjual listrik di bawah harga keekonomian. Artinya, pemerintah akan memberikan kompensasi lebih besar. Kemudian, jika PLN menaikkan tarif maka akan memberatkan masyarakat.
"Kalau PLN dipaksa tidak menaikkan tarif listrik, maka PLN menjual setrum kepada masyarakat di bawah harga keekonomian. Dalam kondisi tersebut, pemerintah harus memberikan kompensasi dari APBN dalam jumlah besar, bahkan bisa lebih dari 2 kali lipat. Namun, jika tarif adjustment diberlakukan, tarif listrik dinaikkan sesuai dengan harga keekonomian, maka beban rakyat, yang baru terpuruk akibat Pandemi COVID-19, akan semakin bertambah berat," terangnya.
"Agar tidak membebani APBN dan memberatkan rakyat sebagai konsumen PLN, skema DMO janganlah dihapuskan. Kecuali, pemerintah memang mengutamakan kepentingan pengusaha batu bara ketimbang kepentingan rakyat," tutup dia.