Jakarta -
Keputusan Kementerian ESDM melarang ekspor bara dapat dukungan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, dalam konteks kebijakan, larangan ekspor batu bara ini harus didukung karena seharusnya komoditas batu bara sesuai amanah pasal 33 UUD 1945.
Maksudnya, komoditas batu bara harus diutamakan untuk kepentingan dalam negeri. Salah satunya untuk pasokan bahan bakar pembangkit listrik.
"Kepentingan nasional harus di atas kepentingan ekspor, sekalipun lebih menguntungkan, ekspor harus nomor sekian. Karena menyangkut kepentingan publik yang lebih luas. Bagaimana mungkin kita banyak batu bara kemudian diekspor, tapi di dalam negeri malah mengalami kekurangan," kata Tulus dalam keterangannya, Minggu (2/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah sendiri menyetop sementara ekspor batu bara selama sebulan mulai 1-31 Januari 2022. Hal ini dilakukan untuk mengamankan stok batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri.
Menurut Tulus, pemerintah negara manapun pasti akan mengambil kebijakan yang sama dalam rangka mengamankan pasokan energi demi kepentingan nasional. Hal ini, lanjut Tulus, sudah sesuai dengan UU Energi dan aturan perundang-undangan terkait.
Dia juga mendorong pemerintah untuk melakukan amandemen kebijakan ekspor batu bara secara berkesinambungan. Pasalnya, Indonesia tercatat sebagai ekspotir batu bara terbesar di dunia, padahal cadangan batu bara Indonesia terhitung sangat kecil hanya sekitar 2% dibandingkan cadangan dunia.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Oleh sebab itu, kata Tulus, dia berharap larangan ekspor batu bara ini tidak hanya berlaku dalam 1 bulan ke depan. Meskipun memang ekspor batu bara lebih menguntungkan dibandingkan untuk pemenuhan kebutuhan nasional.
"Kita tidak bisa bahwa itu untuk pesta pora pengusaha batu bara tetapi mengorbankan masyarakat lebih banyak, mengorbankan keamanan pasokan batu bara ke depannya," tegas Tulus.
Tulus menjelaskan, Indonesia pernah menikmati kejayaaan di periode 'oil boom' alias kelebihan minyak bumi, bahkan kala itu Indonesia masuk jajaran negara pengekspor minyak mentah dunia.
Namun, kondisi tersebut kini berbanding terbalik di mana Indonesia harus bergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Hal itu menurutnya jangan sampai terjadi pada batu bara.
Tulus juga mengingatkan, larangan ekspor batu bara ini pun dilakukan demi menjaga pasokan listrik di dalam negeri. Menurutnya listrik diperlukan bukan hanya untuk kebutuhan rumah tangga semata, melainkan menjadi penggerak kegiatan ekonomi nasional melalui sektor industri.
"Ingat kasus 1965-1967 itu kan kita mengalami 'oil boom' karena kita produksi minyak melimpah ruah, kemudian diekspor keluar. Tetapi pada titik tertentu kita menjadi net importer, saat ini khususnya. Kita tidak ingin itu terulang di batu bara," tutur Tulus.
Dia melanjutkan pengusaha tak perlu pusing negara rugi akibat pungutan ekspor batu bara berkurang. Menurutnya urusan devisa negara itu urusan pemerintah.
"Jadi saya kira pengusaha (eksportir) tidak perlu pusing negara rugi (akibat tidak ekspor batu bara). Itu kan urusan pemerintah, urusan devisa negara itu urusan pemerintah," ungkap Tulus.
Malah menurutnya, dalam praktik ekspor sebetulnya yang lebih untung pengusaha bukan pemerintah. Pajak-pajak yang mesti dibayar untuk ekspor jumlahnya cuma sekian persen menurut Tulus dibandingkan keuntungan dari ekspor batu bara. Atas hal tersebut, menurutnya pengusaha teriak rugi tapi berlindung di balik kepentingan negara saat ekspor batu bara dilarang.
"Sebenarnya yang merasa rugi itu negara atau pengusaha? Dalam hal ini (ekspor) kan pengusaha yang jauh diuntungkan. Kalau negara kan hanya sekian persen dari pendapatan pajak, PPH dan lain-lain. Kok aneh kalau pengusaha bilang kok negara rugi, padahal dia ingin mengatakan dirinya rugi tapi berlindung di balik negara," tutup Tulus.