Perbankan Tak Bisa Mendadak Setop Biayai Batu Bara, Ini Sebabnya

Perbankan Tak Bisa Mendadak Setop Biayai Batu Bara, Ini Sebabnya

Dea Duta Aulia - detikFinance
Rabu, 05 Jan 2022 21:07 WIB
Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batubara periode 1 hingga 31 Januari 2022.
Foto: Pradita Utama-Melihat Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Tengah Larangan Ekspor
Jakarta -

Meskipun saat ini sektor keuangan perbankan diarahkan untuk mendukung penerapan ekonomi hijau, namun pembiayaan ke sektor energi fosil tidak serta merta dihapus begitu saja. Sebab saat ini, kebutuhan akan energi utama di Indonesia dan global masih tergantung pada batu bara.

Dikutip dari CNBC Indonesia Rabu (5/1/2021), Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan meskipun saat ini Indonesia memiliki visi menerapkan ekonomi hijau, namun hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan mudah begitu saja.

Ia menjelaskan, peralihan sumber energi dari fosil ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan tidak bisa dilakukan sekejap mata. Untuk mensukseskan peralihan tersebut butuh proses dan upaya jangka panjang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum lagi soal pembiayaan, ia menilai, menghentikan aliran dana untuk mendukung subsektor batu bara secara total tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

"Saat ini energi baru terbarukan belum berkembang dan kita masih sangat membutuhkan subsektor pertambangan batu bara," kata Piter.

ADVERTISEMENT

Meskipun konsep ekonomi hijau sangat baik, Piter menegaskan, jika pendanaan pada sektor batu bara dihentikan secara singkat dan mendadak maka bisa memberikan multiplier effect yang negatif seperti krisis energi, kehilangan pendapatan, dan krisis sosial.

"Jadi untuk mendorong green economy, pembiayaan hijau, bukan berarti industri yang masih menggunakan batu bara langsung dimatikan," tambah Piter.

Terkait permasalahan tersebut, Pengamat Ekonomi Perbankan Binus University Doddy Ariefianto ikut angkat bicara. Doddy mengatakan, saat ini, sudah banyak perusahaan keuangan yang menerapkan pembiayaan sektor bisnis yang memegang prinsip Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Perusahaan (Environmental, social and corporate governance/ESG). Bahkan, tren tersebut sudah berkembang sejak 2021 lalu.

"Perusahaan penting menerapkan manajemen tata kelola laporan keberlanjutan atau sustainability agar tidak hanya berorientasi hanya laba semata, tapi ada tanggung jawab sosial lain," ujar Doddy.

Tren tersebut pun mendapatkan sambutan positif dari dunia internasional. Doddy mengungkapkan, tak sedikit investor luar negeri mendorong agar perusahaan-perusahaan bisa menerapkan konsep ESG.

Khusus untuk Indonesia, menurutnya, saat ini negara berkembang tidak bisa disamakan dengan negara maju. Karena negara maju memiliki teknologi dan finansial yang dianggap sudah matang untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan.

"Kita sebagai negara berkembang juga dilematis. Sehingga perlu duduk bareng antara pengusaha, perusahaan keuangan hingga regulator yang bisa mendorong hal itu, dengan memberikan intensif, baik berupa insentif pajak, suku bunga, dan lain-lain," ujar Doddy.

Sementara itu, Corporate Secretary BNI, Mucharom mengungkapkan, green banking sebenarnya sudah dilakukan oleh perbankan dengan porsi pembiayaan yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

Bahkan, PT Bank BNI Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sendiri telah menggelontorkan dana untuk green portfolio mencapai Rp 140,5 triliun atau 24,7% dari total kredit BNI. Mucharom menegaskan, pada tahun 2022 ini, pihaknya akan tetap memberikan dukungan pada ESG.

"Dapat kami sampaikan bahwa sebagai pelopor Green Banking, BNI akan meningkatkan ekspansi bisnis yang selektif dan menyiapkan solusi keuangan secara berkelanjutan pada 2022. Kami akan melanjutkan inisiasi green lending pada portofolio kredit BNI untuk mendukung inisiatif ESG, salah satunya adalah dengan meningkatkan bisnis UMKM melalui BNI Xpora untuk meningkatkan potensi UMKM go global," katanya.

Mucharom menjelaskan, pembiayaan dengan konsep berkelanjutan menjadi salah satu sumber pendapatan dengan prospek kuat bagi BNI. Hal ini pun akan memacu BNI untuk terus mencari banyak potensi pertumbuhan portofolio hijau lebih kuat lagi kedepannya

"Adapun, beberapa segmen yang termasuk dalam portofolio hijau adalah pembiayaan dengan konsep pemberdayaan, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, pencegahan polusi, energi baru dan terbarukan serta segmen pengelolaan limbah," tutup Mucharom.

Baca halaman berikutnya..

Setali tiga uang, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F. Haryn menyebut pihaknya berkomitmen mendukung upaya Pemerintah dalam rangka menumbuhkembangkan ekonomi hijau.

BCA, lanjutnya, senantiasa mengedepankan nilai-nilai ESG, ditandai dengan komitmen penyaluran kredit kepada sektor-sektor berkelanjutan yang naik 25,6% secara setahunan (year on year/YoY) menjadi Rp143,1 triliun per kuartal III-2021. Nilai ini terdiri dari Non UMKM dan UMKM.

"Di sisi lain, kami melihat bahwa digitalisasi dengan sistem otomasi juga merupakan cara yang paling efektif dalam percepatan pengurangan emisi karbon," tutur Hera.

Terkait digitalisasi tersebut, BCA juga mendorong nasabah menggunakan layanan digital perbankan seperti mobile banking dan internet banking yang kini telah dilengkapi dengan berbagai fitur canggih. Sedangkan terkait pembiayaan ESG, perseroan tidak akan fokus pada satu sektor saja.

"Ke depan, prospek kredit berkelanjutan BCA di tahun 2022 cukup baik dan masih banyak peluang pembiayaan ke sektor ekonomi hijau. Tidak ada sektor khusus yang dibidik, BCA membuka kesempatan untuk pembiayaan ke seluruh sektor ekonomi hijau," tutupnya.


Hide Ads