PT Pertamina (Persero) kembangkan green hydrogen dan green ammonia untuk mendukung terwujudnya Klaster Industri Hijau. Hal ini menjadi bagian dari komitmen Pertamina dalam mendukung percepatan transisi energi dan mewujudkan target nasional dalam menurunkan emisi sebesar 29% pada tahun 2030.
Pertamina yang bersinergi dengan PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero) telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) untuk mewujudkan Klaster Industri Hijau ini pada Rabu (23/2). Selain itu, Pertamina akan menjalankan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnisnya.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman mengatakan pihaknya akan menjadi katalisator pemulihan hijau yang berjalan seiringan dengan prinsip energi security, energi accessibility, dan energy affordability.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam KTT G20 di Italia lalu yang menyebut anggota G20 dan pelaku bisnis harus menjadi katalisator pemulihan hijau.
"Pertamina mengidentifikasi ada 6 global trends yang akan berpengaruh pada bisnis energi, yaitu Decarbonization, Electrification, Decentralization, Digitalization, Integration, dan Customerization. Untuk mengantisipasinya, terdapat 4 inisiatif yang sedang dikembangkan oleh Pertamina Group minimal untuk menjawab tantangan akan tren Decarbonization, Electrification, Decentralization, dan Integration," kata Fajriyah dalam keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).
Adapun langkah yang dilakukan Pertamina di antaranya yaitu melakukan pengembangan EV Ecosystem. Pengembangan ini diwujudkan dalam kerja sama pengisian daya dan atau penyediaan infrastruktur penggantian baterai kendaraan listrik antara Pertamina dengan Gojek melalui penyediaan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo Selasa (22/2) lalu.
Pertamina juga melakukan pengembangan green hydrogen pilot project yang dijalankan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di wilayah kerja Ulubelu, Lampung. Langkah selanjutnya yaitu pengembangan Blue hydrogen dari proses elektrolisis dengan sumber energi listrik hijau yang bersertifikat di kilang Plaju dan Cilacap milik PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
Terakhir, Pertamina juga tengah melakukan kajian untuk low carbon hydrogen dan turunannya sebagai alternatif bahan bakar di industri maritim dengan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB).
"Pengembangan energi hijau sejalan dengan komitmen Pertamina dalam mengimplementasikan ESG secara terintegrasi di seluruh lini bisnis perusahaan untuk mendorong keberlanjutan bisnis di masa depan," ujar Fajriyah.
Ia juga mengatakan, komitmen Pertamina dalam penerapan aspek ESG telah mendorong peringkat Pertamina secara global. Pertamina mendapatkan ESG Risk Rating oleh Sustainalytics sebesar 28,1 dan berada pada risiko medium dalam mengalami dampak keuangan material. Angka ini mengalami perbaikan signifikan dari sebelumnya yang hanya mencapai 41,6 pada Februari 2021 lalu.
Dengan angka itu, Pertamina menempati posisi 15 dari 252 perusahaan di industri Oil & Gas dan posisi 8 di sub industri integrated Oil & Gas. Capaian tersebut menjadikan Pertamina berada di klaster risiko yang sama dengan perusahaan global lainnya seperti Repsol, ENI, PTT Thailand dan TotalEnergies. Posisi ini pun tercatat lebih baik dari BP, Exxon dan Chevron.
Sejalan dengan penerapan ESG, Pertamina melalui sub holding Pertamina Power and New Renewable Energy (PNRE) juga tengah mengembangkan pembangkit low carbon sebesar 2,5 GW dan strategic technical partners yang dapat dikontribusikan untuk mewujudkan Klaster Industri Hijau.
"Pengembangan Klaster Industri Hijau di Indonesia akan menjadi milestone penting untuk membentuk ekosistem industri hijau yang lebih luas lagi di Indonesia. Hal ini juga sebagai komitmen Pertamina dalam meningkatkan ESG Rating secara global serta akselerasi transisi energi secara nasional," pungkas Fajriyah.
(fhs/hns)