Harga minyak dunia telah menjadi US$ 130 per barel. Namun, pemerintah masih menahan harga BBM yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, kondisi saat ini menjadi hal yang dilematis bagi pemerintah.
"Kalau harga BBM tidak dinaikkan beban APBN makin berat. Kalau dinaikkan akan menyulut inflasi yang memperburuk daya beli rakyat," ujarnya kepada detikcom, Rabu (9/3/2022).
Ia berpandangan, BBM tak dinaikan dulu hingga akhir Maret 2022. Dia bilang, untuk mengurangi beban APBN bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, beban APBN dialihkan ke Pertamina. Untuk itu, negara tidak perlu membayar kompensasi kepada Pertamina dalam 3 bulan ke depan.
Kedua, subsidi silang menggunakan dana APBN dari sektor energi lainnya. Salah satunya menggunakan dana APBN dari hasil ekspor batubara, yang harganya lagi membumbung tinggi hingga mencapai di atas US$ 400 per metrik ton.
Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, jika ditahan akan memberatkan penahannya. Ibarat aliran air yang harusnya mengalir, bendungan akan jebol jika terus menahan air tersebut.
"Dalam konteks harga BBM, kalau fiskalnya sudah jebol, sudah tidak mampu menahan, yang dikhawatirkan justru bendungan ekonomi nasional ini yang rusak," katanya.
Bendungan yang dimaksud ialah subsidi dan APBN. Menurutnya, jika terus ditahan, ke depan akan memberikan efek yang luar biasa terhadap ekonomi nasional.
"Betul, dan impactnya meluap ke ekonomi nasional secara keseluruhan. Misal fiskal nggak kuat, Pertamina nggak kuat, harga pada saat ini masih katakanlah Rp 9 ribu dan menuntut harus disesuaikan katakan ke Rp 20 ribu itu impactnya ke ekonomi nasional luar biasa nanti," katanya.
Menurutnya, kalaupun harus dilakukan penyesuaian harga BBM sebaiknya dilakukan secara bertahap. Sehingga, tidak mengagetkan masyarakat.
"Kan lebih baik sekarang secara bertahap dilakukan penyesuaian, ditunda tetapi numpuk kemudian menjadi beban yang mengagetkan," katanya.
(acd/dna)