Jokowi Mau Genjot Transisi Mobil Listrik, Harga Minyak Jadi Momentum?

Jokowi Mau Genjot Transisi Mobil Listrik, Harga Minyak Jadi Momentum?

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Kamis, 17 Mar 2022 16:14 WIB
Hari ini pabrik baterai kendaraan listrik milik PT HKML Battery Indonesia di Karawang, Jawa Barat mulai dibangun. Pabrik ini memiliki nilai investasi sebesar US$ 1,1 miliar atau setara Rp 15,62 triliun (kurs Rp 14.200).
Dimulainya pembangunan (groundbreaking) pabrik baterai kendaraan listrik ini diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Karawang.
Foto: Istimewa/Kemenko Perekonomian
Jakarta -

Pemerintah terus menggencarkan pengembangan dan produksi mobil listrik di Tanah Air. Hal ini seiring dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.

Bahkan, Jokowi menyebut jika 2022 menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengembangkan ekosistem mobil listrik. Jokowi pun bercita-cita agar kendaraan listrik bisa menjadi moda transportasi utama di Indonesia, termasuk menjadi tumpuan transportasi ramah lingkungan.

"Momen yang terus saya tunggu-tunggu, karena kita ingin segera melakukan transisi besar-besaran, dari mobil yang menggunakan bahan bakar fosil ke mobil listrik yang ramah lingkungan," kata Jokowi saat meresmikan pabrik PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, dan meluncurkan mobil listrik IONIQ 5 di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Rabu (16/3/2022) kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini pun diamini oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurut dia, 2022 memang menjadi momen yang pas bagi pengembangan mobil listrik di Indonesia. Terlebih di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini.

Sebagai informasi, harga minyak mentah duniatelah melonjak di atas USD 100 per barel untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir saat Rusia menginvasi Ukraina, dan harga minyak terus naik saat konflik meningkat.

ADVERTISEMENT

Harga minyak WTI mencapai level tertinggi USD 130,5 per barel awal pekan lalu. Sementara harga minyak Brent diperdagangkan setinggi USD 139,26 per barel.

"Dengan kenaikan harga minyak mentah, apalagi di atas USD 100 per barel ini sebenarnya menjadi insentif bagi masyarakat untuk beralih ke mobil listrik. Konsumen di AS sangat tertekan dengan kenaikan harga BBM, sehingga mereka beralih ke mobil listrik yang biaya bahan bakarnya jauh lebih murah," jelas Bhima.

Sementara di Indonesia, lanjut dia, pengembangan ekosistem mobil listrik harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Salah satunya dengan memberikan lebih banyak insentif kepada pengembangan mobil listrik.

"Jangan insentifnya justru banyak diberikan kepada LCGC ( low cost green car) atau kepada industri otomotif yang bahan bakarnya BBM berupa diskon tarif PPnBM. Ini sebuah kesalahan kebijakan. Sehingga investor mobil listrik menilai regulasi di Indonesia masih mendukung mobil yang bahan bakarnya BBM atau fosil," jelas dia.

Selain memberi insentif, Bhima menilai pemerintah juga harus menjadi contoh peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Misalkan, pemerintah pusat dan daerah harus menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas di instansi-instansi pemerintah.

"Harus ada Instruksi Presiden atau Peraturan Presidennya, sehingga mobil listrik dan motor listrik saat ini ada di kantor-kantor pemerintahan. Jadi harus dicontohkan dulu oleh pemerintah," ungkapnya.

Terkait dengan kesiapan infrastruktur, fasilitas penunjang, dan harga kendaraan listrik, Bhima mengakui jika di Indonesia ketiga hal tersebut masih menjadi hambatan besar pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Namun demikian, dia juga mengapresiasi upaya dari BUMN seperti PLN yang terus menambah fasilitas pengisian daya listrik bagi kendaraan masa depan tersebut.

"Itu memang menjadi penghalang bagi ekosistem mobil listrik di Indonesia. Tetapi dengan keberadaan PLN charging station itu sangat membantu di setiap SPBU sampai ke daerah-daerah. Ini menjadi sarana pendukung bagi kendaraan listrik," tuturnya.

Senada dengan Bhima, Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno mengakui harga mobil listrik yang terhitung mahal memang kendala terbesar masyarakat untuk beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan tersebut. Namun, masih ada celah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menarik minat masyarakat berpindah dari kendaraaan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Salah satunya dengan memberikan insentif berupa keringanan kredit untuk kendaraan listrik.

"Orang kita kan senangnya nyicil, kalau DP ( Down Payment /uang muka) dipermudah dan cicilannya kecil mungkin orang bisa (beli)," ungkap dia.

Selamatkan Lingkungan dan APBN

Bhima memastikan jika transisi kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik bisa berjalan mulus di Indonesia, bukan hanya berdampak pada kelestarian lingkungan saja, melainkan juga pada anggaran negara.

Sebagai informasi, dari data Kementerian ESDM melaporkan, realisasisubsidi energi2021mencapai Rp 131,5 triliun ataumelonjak dari target sebesar Rp 110,5 triliun.

Dari angka tersebut, subsidiBBMdanLPGmemakan anggaran hinggaRp 83,7 triliun atau naik dari target awal senilai Rp 56,9 triliun.Lonjakan subsidi energi pada tahun lalu salah satunya disebabkan oleh volume penyaluran BBM bersubsidi pada 2021 naik menjadi 16 juta kilo liter (kl).

Tak hanya dapat menekan subsidi, penggunaan kendaraan listrik juga bisa mengurangi impor BBM yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun lalu misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor hasil minyak atau BBM RI sepanjang 2021 melonjak 74% menjadi USD 14,39 miliar atau sekitar Rp 205,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) pada 2021 dari USD 8,28 miliar di sepanjang 2020.

Dari sisi volume, total volume impor BBM RI selama 2021 naik 5,5% menjadi 29,79 juta ton dari 21,93 juta ton sepanjang 2020.

Sedangkan penggunaan kendaraan listrik digadang bisa menghemat devisa negara hingga Rp 87,86 triliun di 2050.

"Dengan transisi ke mobil listrik, yang jelas penghematan dari sisi belanja negara akan luar biasa besar, khususnya dari subsidi energi yang bisa dihemat. Kemudian juga ketika komponen mobil listriknya baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri bisa diproduksi di Indonesia, tentu akan mendatangkan devisa, penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Itu yang harus pemerintah sadari bahwa transformasi ini juga menguntungkan APBN," tutup Bhima


Hide Ads