Kembalinya harga minyak goreng ke mekanisme pasar membuat ketetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng dicabut. Kebijakan ini pun berpengaruh pada pasokan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dan penetapan harga (Domestic Price Obligation/DPO) minyak sawit atau crude palm oil (CPO).
"Hari ini akan keluar Permendag-nya dan dalam 5 hari akan berlaku. Nggak ada lagi DMO," kata Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (17/3/2022).
Lutfi juga mengatakan digantinya dua kebijakan pengatur ekspor CPO ini, membuat pengusaha lebih tertarik menjual CPO ke dalam negeri. Rencananya, dua kebijakan ini akan diganti dengan intensifikasi pungutan ekspor dan bea keluar bagi eksportir.
"DMO-nya itu diganti dengan mekanisme namanya pajak. Jadi kalau pajaknya gede, orang akan jualnya di dalam negeri lebih untung daripada di luar negeri," tambahnya.
Nantinya, pemerintah akan menaikkan pungutan ekspor dan bea keluar komoditas CPO menjadi US$ 675 per metrik ton (MT) atau naik 80% dari posisi sebelumnya US$ 375 per MT.
Lutfi melanjutkan, kenaikan itu akan dialihkan untuk membiayai subsidi minyak goreng curah yang dipatok seharga Rp 14.000/liter melalui Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Dengan harga hari ini yang tadinya pungutan ekspor dan bea keluar jumlahnya US$ 375 per ton, sekarang ini ditambah lagi US$ 300 per ton menjadi US$ 675 per ton," jelas Lutfi.
Dengan begitu, pasokan minyak goreng diharapkan bakal kembali lancar ke pasar tradisional dan ritel modern. Masalahnya setelah HET untuk minyak goreng dicabut, harga CPO di pasar global juga tengah melonjak.
Selama ini alasan terhambatnya pasokan minyak goreng ke masyarakat, karena perbedaan harga yang terlalu lebar antara harga domestik dengan Internasional saat HET diberlakukan.
"Mestinya disparitas harga tidak terlalu tinggi dan barang ada di ritel modern," imbuhnya.
(eds/eds)