Saat ini PLN sedang membuka lelang pengerjaan mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai. PLN akan mengkonversi sampai dengan 250 megawatt (MW) PLTD yang tersebar di sejumlah lokasi di Indonesia.
"Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi," ujar Darmawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam tahap dua, PLN akan mengkonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut. Darmawan menjelaskan targetnya proyek ini akan rampung pada 2026 mendatang.
"Program dedieselisasi ini bisa menghemat 67 ribu kilo liter BBM. Selain itu, pengurangan emisi yang dicapai bisa mencapai 0,3 juta metrik ton CO2 dan meningkatkan 0,15% bauran energi," terangnya.
Ia meyakini biaya produksi pembangkit EBT di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil. Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai.
Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok $25 sen per kilowatthour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar $5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun di bawah $4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai $13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka $50 sen per kWh. Ini menunjukkan penurunan biaya hampir 80%.
"Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai," tegas Darmawan.
Bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN), PLN melakukan konversi 33 PLTD menjadi berbasis gas, khususnya di wilayah terpencil.
(fhs/hns)