Cegah Kantong Kempis Pertamina Makin Parah, Pertamax cs Perlu Naik Lagi?

Cegah Kantong Kempis Pertamina Makin Parah, Pertamax cs Perlu Naik Lagi?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 03 Jun 2022 17:44 WIB
Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU 24.361.77 Mayang Mangurai, Kota Baru, Jambi, Kamis (14/4/2022). Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel mengerahkan 384 unit armada mobil tangki, 27 unit bridger avtur, dan menyiapkan 174 unit skid tank untuk LPG, serta 16 titik SPBU kantung dan 15 titik layanan motoris pada jalur mudik guna mengamankan pasokan energi selama Ramadhan dan mudik Lebaran tahun 2022. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU
Foto: ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Jakarta -

Harga minyak dunia terus mengalami kenaikan berimbas pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Namun Pertamina sebagai satu-satunya penjual BBM milik negara masih menahan diri.

Dalam periode ini, terpantau beberapa perusahaan bahan bakar minyak internasional telah beberapa kali menerapkan kenaikan harga BBM. Seperti halnya Shell yang menaikkan harga BBM Shell Super yang setara RON 92 sebesar Rp 870 menjadi Rp 17.500 per liter pada 1 Juni 2022 kemarin.

Di sisi lain, perusahaan minyak dalam negeri, Pertamina baru satu kali melakukan kenaikan harga RON 92 Pertamax sejak 1 April 2022 lalu menjadi harga Rp 12.500 per liter. Padahal saat ini Pertamina sedang berada pada kondisi defisit akibat tidak menyesuaikan harga jual BBM dengan harga belinya di pasaran global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan bahwa belum terlihat tanda bahwa harga minyak dunia akan turun. Bahkan harga minyak dunia berkemungkinan akan terus di atas US$ 100 per barel. Hal ini merupakan kondisi yang berbahaya bagi Pertamina apabila terus bertahan dengan tarif BBM saat ini.

"Sebetulnya secara regulasi Pertamina berhak untuk menaikkan harga Pertamax, tertuang dalam Perpres No. 69 tahun 2021 pasal 14A yang menyatakan kalau harga jenis BBM umum dapat ditentukan oleh badan usaha," ujar Mamit, kepada detikcom, Jumat (03/06/2022).

ADVERTISEMENT

Menurut Mamit kenaikan Pertamax tidak akan menimbulkan dampak yang besar. Sebab menurut data yang dimilikinya angka konsumsi Pertamax hanya sebesar 19% dari total konsumsi BBM Pertamia secara keseluruhan.

Angka itu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Pertalite yang mencapai 80%. Sedangkan Pertamax Turbo dan jenis BBM lainnya sebesar 1%.

"Kalaupun Pertamax belum bisa, agar beban tidak terlalu besar penyesuaian bisa dilakukan pada Pertamax turbo, Pertamax Dex dan lain-lain yang berada di atasnya," ujar Mamit.

Memang diakuinya kenaikan harga BBM akan memicu penolakan dari masyarakat. Namun itu bisa di atas jika pemerintah dan Pertamina bisa melalukan edukasi yang baik ke masyarakat.

"Pemerintah sekarang juga perlu berfokus untuk penggunaan pertalite bisa tepat sasaran. Menurut saya perlu ada pembatasan demi mewujudkan hal itu. Salah satu caranya bisa dengan yang sedang ramai ini seperti menggunakan aplikasi mypertamina," tuturnya.

Mamit juga menambahkan bahwa upaya tersebut dilakukan demi menekan angka konsumsi pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang juga mendapat subsidi dari pemerintah. Dirinya menilai bahwa regulasi pemerintah tidak memberi batasan yang jelas mengenai konsumsi pertalite, yang mana tertulis bahwa semua orang berhak menikmati bahan bakar bersubsidi itu. Sedangkan kondisi tersebut sedikit banyak berpengaruh pada defisit yang dialami Pertamina.

Lanjut di halaman berikutnya.

Mendukung pernyataan Mamit mengenai regulasi BBM dengan harga subsidi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, mengatakan bahwa menurutnya perlu dibuat kriteria yang sederhana bagi para konsumen BBM dengan harga subsidi untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan kesulitan dalam mengontrol.

"Kalau sekarang untuk distribusi tertutup bagi Pertalite dan solar itu menurut saya langkah yang bagus. Tapi harus tepat dan akuntabel siapa yang berhak beli. Karena ini melibatkan harga subsidi dan harga non-subsidi. Pembuatan kriteria ini cukup sulit, penerapannya lebih sulit lagi kecuali kriterianya itu dibuat sederhana misalnya yang boleh menggunakan Pertalite sepeda motor dan kendaraan pengangkut orang dan barang saja, diluar itu harus pertamax. Itu bisa coba diaplikasikan," ujar Fahmy.

Terlepas dari posisi Pertalite sebagai JBKP, Fahmy mengatakan bahwa seharusnya harga Pertamax, Pertamax Turbo dan Pertamax Dex dapat ditentukan mengikuti harga mekanisme pasar.

Dirinya menambahkan bahwa secara perhitungan kasar bila harga Pertamax ke atas dilepas oleh pemerintah untuk menyesuaikan dengan harga keekonomian, tidak akan terlalu berpengaruh pada inflasi, mengingat para penggunanya ialah yang menengah ke atas.

"Jumlah konsumsi Pertamax itu kasarnya hanya di kisaran 12%, tidak akan terlalu berpengaruh pada inflasi. Berbeda dengan Pertalite yang konsumsinya sampai 60-70% dari total konsumen, pasti akan berpengaruh," ujar Fahmy.

Fahmy juga menambahkan bahwa menurutnya pemerintah mampu meringankan beban tersebut apabila langsung membayarkan beban kompensasi. Utang pemerintah inilah yang akan sangat bermanfaat bagi Pertamina dalam menghadapi defisit.

"Tapi masalahnya beban kompensasi itu tidak dibayarkan langsung oleh pemerintah. Agar Pertamina tidak berdarah-darah, pemerintah dapat melakukan beberapa upaya seperti membantu lewat dana APBN. APBN mampu karena pemerintah juga mendapat keuntungan dari harga minyak yang kita dapatkan dari mengekspor 700 barel per hari dengan harga yang sedang tinggi itu. Tetap itu bisa meringankan," ujar Fahmy.

Fahmy juga menambahkan kalau keuntungan ekspor komoditas lain seperti batubara dan nikel yang harganya sedang naik ini masih cukup untuk memberikan subsidi terhadap konsumen Pertalite dan solar.



Simak Video "Video: Pertamina Pastikan Stok BBM Aman Selama Masa Lebaran 2025"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads