Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan pandangannya terhadap gejolak harga minyak dunia. Awalnya, dia memaparkan soal prediksi harga minyak mentah di Rancangan APBN 2023 yang dipatok sekitar US$ 80-100 per barel.
Rentang patokan yang masih lebar ini menurutnya menggambarkan ketidakpastian yang terjadi pada pasar minyak dunia. Dia melanjutkan penjelasannya soal gejolak harga minyak dunia selama dua tahun terakhir.
Di tengah pandemi COVID-19, menurutnya minyak dunia sempat tidak ada harganya. Hal itu menurutnya terjadi di bulan April 2020, saat itu harga minyak dunia berada di zona negatif selama dua hari berturut-turut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita masih ingat April 2020 itu harga minyak itu sempat negatif. Nggak ada harganya minyak. Pernah hartanya negatif, sudah muncrat di berbagai sumur di dunia tapi nggak ada yg beli. Karena waktu itu tengah pandemi," ungkap Sri Mulyani dalam rapat yang disiarkan virtual, Selasa (7/6/2022).
Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah sempat meminta Pertamina untuk membeli minyak saat harganya lagi murah. Namun, saat itu pun Pertamina mengaku pasokannya sudah penuh karena permintaan pasar menurun.
Menurutnya, kegiatan ekonomi saat pandemi turun secara drastis. Penggunaan BBM pun berkurang sangat pesat.
"Kita menanyakan, Pertamina beli aja itu, tapi semua tangkinya sudah penuh. Jadi memang nggak ada yang mau beli. Demand nggak ada waktu itu semua kegiatan ekonomi berhenti nggak ada yang beli," kata Sri Mulyani.
"Makanya orang (produsen minyak) kalau nggak bisa switch off produksi, dua hari negatif," katanya melanjutkan.
Namun seiring dengan pulihnya dunia dari dampak pandemi COVID-19 perlahan-lahan minyak dunia terkerek. Awalnya, masih wajar naik ke US$ 20-30 per barel.
Namun, setelah adanya gonjang-ganjing Rusia dan Ukraina harga minyak naik pesat, bahkan dalam waktu singkat menurut Sri Mulyani harga minyak menembus US$ 100 per barel. Hingga saat ini menurutnya terparkir di harga yang sangat tinggi, yaitu US$ 120 per barel.
"Ini hanya untuk menggambarkan betapa dalam dua tahun range minus sampai US$ 120 bisa terjadi," kata Sri Mulyani.