Menurut Susi, memang tak ada cara lain selain menaikkan harga tiket pesawat agar maskapai bisa beroperasi. Di tengah kondisi babak belur itu, menurutnya protes bukan cuma datang dari Kementerian Perhubungan tapi juga dari penumpang.
"Saya mau bagaimana lagi? Sini naik, sana naik. Kita naikkan Rp 100.000 saja sudah teriak semua orang. Marah semua ke kita. Kita ini babak belur malah dimarahin orang," ujar Susi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susi pun meminta pemerintah lebih banyak memberikan insentif kepada maskapai. Apalagi untuk maskapai yang sering melayani rute perintis seperti Susi Air.
Salah satu insentif yang diminta Susi adalah agar biaya-biaya penerbangan yang diadakan BUMN untuk digratiskan atau didiskon sementara waktu. Dia meminta BUMN puasa sementara menarik keuntungan dari industri penerbangan.
Sebagai contoh saja, biaya airport tax alias tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) dari operator bandara dilonggarkan sampai akhir tahun.
"Mungkin insentif dari pemerintah sementara mendorong agar semua BUMN puasa dulu untuk taking money dari aviation service. Mungkin tak ada airport tax, sampai Desember saja. Agar kita bisa making plan 6 bulan," kata Susi.
Sebagai informasi, kebanyakan bandara dikelola oleh BUMN, yaitu PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero).
Sebetulnya, avtur bisa diproduksi di kilang-kilang milik Pertamina. Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur Pemasaran Pusat & Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Lalu mengapa harga avtur tetap mahal bila bisa diproduksi sendiri di Indonesia? Menurut Riva meski produksi dilakukan secara mandiri di dalam negeri, minyak mentah yang menjadi bahan bakunya tetap diimpor. Nah, minyak mentah saat ini sedang mengalami lonjakan harga signifikan.
"Memang avtur ini diproduksi kilang domestik Pertamina, namun minyak mentahnya kita impor. Harganya ini berpengaruh juga dari volatilitas dan fluktuasi nilai tukar kurs," ungkap Riva dalam webinar yang sama.
Riva menjelaskan gonjang-ganjing pasar global karena perang Rusia dan Ukraina mempengaruhi harga avtur. Stok minyak mentah dari Rusia berkurang, padahal negara itu menjadi salah satu produsen minyak besar di dunia.
Sementara itu permintaan minyak justru meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi dunia. Harga minyak mentah dunia yang tadinya paling mahal di US$ 60 per barel, kini melonjak di sekitar level US$ 100 per barel.
"Harga minyak mentah saja meningkat tajam, di mana kuartal I masih di angka US$ 60-an, sejak terjadi ketegangan Rusia dan Ukraina meningkat tajam. Sampai saat ini stabil di sekitar US$ 100 per barel. Tidak seimbang supply demand dan belum mampunya peningkatan produksi dari OPEC jadi masalahnya, maka stabil minyak di atas US$ 100," papar Riva.
"Jadi trigger volatilitas harga diawali situasi geopolitik Rusia dan Ukraina dan berdampak pada ketidakseimbangan supply demand," lanjutnya.
Bukan cuma harga minyak mentah yang mahal, sebagai negara kepulauan, pola distribusi avtur di Indonesia memang butuh ongkos banyak. Pertamina sejauh ini menyediakan avtur ke sekitar 69 bandara di Indonesia.
Yang paling singkat saja, dari kilang avtur harus diantar dengan kapal tanker menuju depo. Dari depo diantar menggunakan truk lagi ke bandara.
"Kami sampaikan juga, di Indonesia ini memang kompleksitas suplai dan distribusi BBM dan avtur sangat kompleks," ungkap Riva.
Nah, dari kilang menuju bandara, alat angkut yang digunakan pun butuh BBM. Misalnya, truk angkut untuk jalur darat. Solar yang jadi bahan bakar truk itu saja ongkosnya sudah sangat mahal.
"Selain biaya produk avtur sendiri yang sudah mahal, di dalam hadirkan avtur itu ke 69 wilayah memang banyak gunakan alat-alat angkut transportasi darat yang bahan bakarnya terpengaruh harga minyak dunia juga," papar Riva.
(hal/dna)