RI Punya 'Harta Karun' Terbesar ke-2 di Dunia, Tapi...

RI Punya 'Harta Karun' Terbesar ke-2 di Dunia, Tapi...

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Jumat, 22 Jul 2022 15:26 WIB
Salah satu kekayaan mineral yang terkandung di perut bumi Indonesia adalah Timah. Indonesia juga menjadi salah satu penghasil tambang timah terbesar di dunia.
Foto: Rachman_punyaFOTO
Jakarta -

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan Indonesia memiliki harta karun energi terbesar nomor dua di dunia. Harta karun yang dimaksud ialah timah. Posisi Indonesia terhadap cadangan timah saat ini masih di bawah China. Ada ratusan ribu ton cadangan timah di Indonesia.

Meski demikian, tata kelola timah di dalam negeri dinilai masih belum optimal. Hal ini pun dibahas oleh Babel Resource Institute (BRiNST) dengan menggelar seminar timah nasional bertajuk 'Timah Indonesia dan Penguasaan Negara' yang digelar hybrid di Santika Bangka dan online melalui platform Zoom Meeting.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengatakan dirinya berharap ada persamaan persepsi tentang apa yang dimaksud dengan penguasaan oleh negara. Menurut dia kepastian penguasaan, kewajiban hilirisasi dan aspek yang sangat pro lingkungan menjadi perhatian saat ini dan telah diatur pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, melalui pengusaan negara telah jelas. "Secara penguasaan sudah sangat jelas, beberapa waktu terakhir ini, pimpinan mulai menyampaikan arahan, dalam waktu tidak terlalu lama, kita harus menghentikan ekspor timah. Namun apa yang dimaksud dengan timah, nanti akan dibahas selanjutnya," kata dia.

Menurut Ridwan semangat menata kembali dunia pertambangan timah adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah, pembukaan lapangan peerjaan dan penguatan penguasaan oleh negara.

ADVERTISEMENT

"Kita ingin mengatakan, karena timah di Indonesia tepatnya di Babel secara mayoritas, dampak sosial secara ekonomi yang semaksimal mungkin. Realitasnya saat ini kita kaya tetapi belum maksimal," kata Ridwan, Jumat (22/7/2022).

Menurut dia ada ruang hilirisasi yang masih harus ditingkatkan. Pemerintah menurutnya akan mempertegas posisi Indonesia dalam permainan bisnis global. Dalam konteks timah di Bangka Belitung sebagai mayoritas produksi, Ridwan mengatakan sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi.

Ia mengatakan saat ini pemerintah sedang berusaha keras mencegah kebocoran pada bisnis timah.

"Setiap tahun PT Timah Tbk rugi Rp 2,5 Triliun karena tambang ilegal. Kita juga mencermati kerusakan karena tambang ilegal, 123 ribu hektar lahan kritis yang diakibatkan tambang ilegal, kita tidak mau mewariskan kerusakan pada anak cucu kita," kata dia.

Dia mengatakan timah belum tergantikan, dan sangat dibutuhkan dunia dalam jangka panjang. Ridwan pun menyampaikan hasil terbaru kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kementerian ESDM dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan telah membahas kebijakan terbaru untuk sektor timah.

"Dalam pertemuan dengan Pak Luhut, Menko Marvers, pemerintah menugaskan BPKP untuk melakukan audit terhadap tata kelola timah. Bahwa kami sudah mengeluarkan edaran, per 1 Juli 2022, semua smelter harus melaporkan sumber timahnya. Artinya bentuk penguasaan yang ingin kita wujudkan," kata dia.

Selain itu, timah akan masuk dalam Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian dan Lembaga (SIMBARA). "Semuanya kita masukkan, asal usul timah jadi tahu, smelter A mendapatkan timah dari IUP x, itu semua harus tercatat," kata dia.

Ridwan pun mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengusulkan timah menjadi mineral kritis. "Dalam pertemuan kemarin itu juga, dibahas tentang usulan timah menjadi mineral kritis," kata Ridwan.

Dalam aspek penegakan hukum, Ridwan mengatakan saat ini dirinya sedang menata pertambangan ilegal. Bagi masyarakat yang terlibat dalam praktik pertambangan ilegal dapat mengurusi perizinan.

"Dalam kapasitas saya sebagai Pj Gubernur Bangka Belitung, yang saya lakukan adalah menata pertambangan ilegal agar dapat jadi ilegal, Bagi masyarakat yang ingin terlibat, saya menyediakan tempat pengurusan perizinan. Saya menyediakannya di eks rumah dinas Wakil Gubernur sebagai tempat mengajukan bantuan perizinan. Sehingga tidak ada alasan pihak yang melakukan kegiatan ilegal tidak mampu mengurusnya. Pemerintah sudah membuka jalan," kata Ridwan.

Sementara itu Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA dan KND Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi mengatakan penerimaan PNBP timah di Bangka Belitung dipengaruhi volume penjualan dan harga.

Penerimaan 2020 menurun seiring turunnya volume, namun Penerimaan 2021 meningkat karena peningkatan volume dan harga. Penerimaan 2022 diproyeksikan akan meningkat karena meningkatnya harga timah.

Ia mengatakan Penerimaan Dana Bagi Hasil terbesar dalam 5 tahun terakhir diperoleh oleh pemda Provinsi Babel sebesar 522,57 miliar atau sebesar 22,69% selanjutnya Kabupaten Bangka sebesar 367,13 miliar atau 15,94%. Penerimaan DBH terbesar didapatkan pada tahun 2019 dengan total DBH sebesar 796,95 miliar.
"Untuk sumber daya minerba ini, sampai saat ini memang SDA minerba masih menjadi pemain kuncinya (pendapatan)," katanya.

Kurnia Chairi mengatakan dengan sinergitas SIMBARA, maka sektor pertambangan lebih terawasi. "Ke depan, Kementerian Keuangan bisa melihat dari hulu dan hilir pertambangan timah," kata dia.

Sementara itu Mamit Setiawan dari Energy Watch yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan ada beberapa isu yang saat ini sedang dibahas, pertama wacana larangan ekspor timah, adanya wacana kenaikan royalti dan desakan penerbitan IUP untuk Logam Tanah Jarang.

Menurut Mamit perlu adanya tata kelola industri timah yang lebih baik lagi yagn tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.

"Pelarangan ekspor timah harus dipikirkan kembali dampaknya bagi industri timah sendiri, industri dalam negeri, masyarakat, pemerintah daerah dan pastinya terhadap penerimaan negara," kata dia.

Dengan cadangan timah Indonesia yang tidak besar, maka banyak persoalan yang harus disoroti dan menjadi persoalan industri timah nasional. Menurut dia cadangan itu diperkirakan hanya sampai 11-12 tahun ke depan.

"Tata niaga timah yang masih lemah dan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik pusat maupun daerah," kata dia.

Dirinya pun menyoroti konsumsi timah domestik yang masih rendah, dan hilirisasi timah yang lambat. "Kalau konsumsi sedikir, dan industri hilirisasi lambat, akan sulit untuk indusrti ini di masa depan," katanya.

Menurut Mamit Setiawan, kemudahan proses perizinan harus dilakukan agar masyarakat tidak terjebak di pertambangan liar. "Rawan terhadap terjadinya konflik sosial masyarakat terkait perbedaan ekonomi yang cukup luas. Terhadap lapangan pekerjaan dan isu-isu lainnya," kata dia.


Hide Ads