Kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai menipis. Ibarat indikator bahan bakar pada kendaraan, jarum sudah mengarah ke tanda 'E' alias emergency.
Bagaimana tidak, dari kuota BBM subsidi yang dipatok pemerintah di tahun 2022 sebesar 23 juta kiloliter, saat ini tinggal tersisa 6 juta kiloliter lagi. Padahal, tahun 2022 masih tersisa 4 bulan lagi sebelum penghujung tahun.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mengatakan penyebab kuota BBM subsidi selalu cepat habis dari tahun ke tahun, karena harga jual eceran BBM bersubsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, siapapun ingin mengonsumsi BBM bersubsidi, termasuk golongan mampu.
Menurutnya, kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penyaluran BBM bersubsidi dari dulu hingga saat ini tidak pernah tepat sasaran. Sebab, faktor pengendaliannya diserahkan pada
mekanisme kuota.
"Hukumnya, kalau menjual di bawah ongkos, pasti langka. Mau tentara, Kopassus sekalipun diturunkan tidak bisa (melarang penjualan BBM subsidi). Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata Faisal dalam sebuah diskusi berjudul 'Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran', pada Selasa (30/8/2022) lalu.
Faisal pun menyarankan cara lain yang bisa diterapkan pemerintah untuk membendung dampak pergerakan harga minyak mentah dunia ke besaran subsidi adalah dengan memanfaatkan mekanisme fiskal. Mekanisme fiskal yang bisa digunakan, yakni dengan menyesuaikan pelaksanaan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumsi BBM.
"Jika harga minyak sedang tinggi-tingginya, pemerintah bisa memungut PPN 11 persen. Tapi, jika harga minyak mentah turun, pungutan PPN ditiadakan," ujarnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya