Ekonom UI: Perekonomian Lagi Solid, Sekarang Momentumnya Kenaikan Harga

Ekonom UI: Perekonomian Lagi Solid, Sekarang Momentumnya Kenaikan Harga

Inkana Izatifiqa R Putri - detikFinance
Sabtu, 03 Sep 2022 12:44 WIB
Antrean tersebut terkait adanya isu rencana pemerintah menyesuaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar bersubsidi per tanggal 1 September 2022.
Foto: ANTARA FOTO
Jakarta -

Persoalan penyesuaian harga BBM kerap menjadi perbincangan publik. Meski demikian, berbagai indikator menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia cukup solid untuk menghadapi dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Terkait hal ini, Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan kondisi baik perekonomian Indonesia diindikasikan dengan deflasi nasional yang diumumkan BPS baru-baru ini, yakni minus 0,21 persen pada kuartal II 2022. Untuk itu, ia pun mengimbau agar pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk mengurangi beban subsidi BBM yang telah mengganggu stabilitas fiskal APBN.

"Ini adalah deflasi yang terbesar setelah 2019. Artinya tekanan inflasi sudah mulai reda. Secara tahunan juga, inflasi pada bulan Agustus 4,69 persen, (dibanding) bulan Juli yang 4,9 persen, itu kan deflasi juga," tutur Fithra dalam keterangan tertulis, Sabtu (3/9/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini ia sampaikan dalam sebuah diskusi yang digelar HMI Badko Jabodetabek & Banten di Jakarta. Direktur Eksekutif Next Policy ini pun menjelaskan manufacturing purchasing managers index (PMI) Indonesia pada Agustus lalu juga naik menjadi 51,7 dari sebelumnya 51,3.

"Artinya perekonomian kita sekarang lagi solid, tekanan inflasi tidak terlalu besar, cenderung turun, maka sekarang adalah momentumnya untuk kenaikan harga," ujar Fithra.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, komunitas pakar kebijakan publik yang tergabung dalam Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) mengusulkan tiga langkah (Skenario 3W), yang dapat diambil pemerintah untuk memanfaatkan momentum ini. Adapun tiga langkah itu adalah wajib menyesuaikan harga BBM bersubsidi, wajib menyediakan bantalan pengaman sosial bagi masyarakat, dan wajib melakukan reformasi energi.

"Ini merupakan hasil kajian cepat AAKI untuk mempelajari urgensi dan dampak kebijakan penyesuaian subsidi BBM terhadap berbagai aspek," ujar Ketua Umum AAKI, Dr-Ing Totok Hari Wibowo.

AAKI menilai pengurangan subsidi pada BBM, khususnya Pertalite, Pertamax dan solar penting dilakukan guna memenuhi prinsip keadilan, persamaan kesempatan, dan inovasi. Dalam hal ini, prinsip keadilan adalah adanya pengalihan subsidi dan kompensasi BBM ke sektor lain yang lebih produktif dan berpihak ke rakyat paling membutuhkan, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan.

Langkah penyesuaian subsidi ini dinilai tepat sebagai upaya koreksi penyaluran BBM bersubsidi, yang selama ini masih kurang tepat sasaran.

"Konversi subsidi menjadi peningkatan pelayanan publik, bantalan sosial, fasilitas kesehatan, dana pendidikan, dan sebagainya dinilai penting dan mendesak untuk menghentikan pembengkakan subsidi BBM yang sebagian besarnya dibakar di jalanan oleh kelompok yang tidak eligible," lanjut Totok.

Reorientasi Subsidi di APBN

Pemerintah telah mengumumkan tambahan anggaran bantalan sosial (bansos) senilai Rp 24,17 triliun, yang salah satunya berupa bantuan langsung tunai (BLT). Presiden Jokowi pun saat ini telah memulai pembagian BLT BBM secara simbolik melalui Kantor Pos Jayapura, Papua, Rabu (31/8).

Jokowi menyebut BLT akan diterima 20,6 juta penerima manfaat. Selain itu, Jokowi menyebut nantinya akan ada BLT untuk 16 juta pekerja. Jokowi berharap bantuan ini dapat membantu masyarakat menghadapi naiknya harga kebutuhan pokok menjadi lebih baik.

"Hari ini kita kita telah memulai pembagian BLT BBM yang diberikan kepada masyarakat selama empat bulan, per bulannya diberikan Rp150 ribu, jadi totalnya Rp 600 ribu," jelas Jokowi.

Selain BLT BBM, pemerintah juga memberikan bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp 600 ribu untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Adapun anggaran yang akan digelontorkan untuk subsidi gaji ini sebesar Rp 9,6 triliun.

Kemudian, ada juga bansos berupa subsidi transportasi daerah. Anggaran ini diambil dari pengalihan 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), serta ditujukan bagi pengemudi ojek dan nelayan, hingga perlindungan sosial tambahan lainnya.Besar total anggaran yang disiapkan sebesar Rp 2,17 triliun.

Kepala Badan Intelijen Negara (KABIN) Jend Pol (Purn) Budi Gunawan menjelaskan skema pemberian bantalan sosial kepada masyarakat tidak mampu masih akan terus berkembang.

"Pemerintah memahami, masyarakat tidak mampu harus menjadi fokus upaya perlindungan sosial di tengah tekanan ekonomi akibat situasi global saat ini," ujar Budi.

Budi menambahkan pemerintah kini sedang melakukan realokasi subsidi di APBN. Salah satunya dengan mengevaluasi besaran subsidi energi yang ditemukan salah sasaran, sebagaimana ditunjukkan data BPS. Langkah ini bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial yang lebih efektif bagi kelompok paling rentan.

"Data analisis intelijen ekonomi menunjukkan situasi global akan memberikan tekanan ekonomi ke seluruh negara. Pemerintah akan mengantisipasi ini melalui desain APBN yang melindungi kelompok rentan secara lebih efektif," katanya.


Sementara itu, cendekiawan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra menjelaskan penyesuaian harga BBM untuk mengurangi beban subsidi energi di APBN memang tidak dapat dihindari. Hal ini penting guna menghindari dampak negatif lebih besar, yaitu krisis dan bangkrutnya APBN, seperti dalam kasus Pemerintah AS, yang berkali-kali 'lockdown' akibat likuiditas keuangan yang terganggu.

Azyumardi menyebutkan keinginan pemerintah menyesuaikan harga BBM sebenarnya dapat dilakukan, namun secara bertahap dan melibatkan berbagai pihak.. Dengan demikian, masyarakat tidak terkejut dan panik.

"Tentu saja kebijakan ini harus mengajak keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk masyarakat sipil, karena ini adalah urusan bersama," pungkasnya.


Hide Ads