Drama Subsidi BBM, Harga Naik hingga Dampaknya ke Kemiskinan

Drama Subsidi BBM, Harga Naik hingga Dampaknya ke Kemiskinan

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 12 Sep 2022 07:30 WIB
Infografis rincian harga Pertalite, Pertamax naik
harga bbm (Foto: Infografis detikcom/Ahmad Fauzan Kamil)
Jakarta -

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menimbulkan polemik yang terus bergulir. Pemerintah beralasan beban APBN sudah terlalu, di sisi lain banyak pihak yang mengkritisi kebijakan non populis tersebut.

Pemerintah sendiri sudah menaikkan harga BBM pada 3 September kemarin. Harga solar naik dari Rp 5.150/liter jadi Rp 6.800/liter. Harga Pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000 ribu/liter. Lalu, Pertamax dari sebelumnya dibanderol Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter.

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan blak-blakan soal bengkaknya subsidi BBM dari tahun ke tahun. Menurutnya, kenaikan jumlah penggunaan kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin jadi salah satu biang kerok kenaikan subsidi BBM.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlebih lagi, dia memaparkan selama 10 tahun terakhir menarik jumlah penggunaan kendaraan bermotor terus meningkat pesat.

"Selama 1 dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat mengalami kenaikan yang cukup pesat. Hal ini tentunya berpengaruh pada kenaikan jumlah penggunaan kendaraan bermotor, yang berimplikasi kepada kenaikan subsidi BBM," sebut Luhut dalam unggahan di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan, dikutip Minggu (11/9/2022).

ADVERTISEMENT

Luhut memaparkan data yang dihimpun oleh industri kendaraan bermotor menunjukkan konsumsi BBM untuk sebuah kendaraan roda empat atau mobil mencapai 1.500 liter per tahun, sementara untuk motor butuh 305 liter per tahun. Jumlah itu cukup membebani subsidi, apalagi bila kendaraannya terus menerus mengkonsumsi BBM subsidi.

"Saya menemukan data yang dihitung oleh Industri kendaraan bermotor, ditemukan bahwa secara rata-rata konsumsi BBM untuk satu unit mobil mencapai 1.500 liter/ tahun dan 305 liter/tahun untuk motor," ungkap Luhut.

"Bisa kita semua bayangkan ketika dua jenis kendaraan ini kebanyakan menggunakan BBM bersubsidi, maka sudah pasti yang terjadi adalah membengkaknya subsidi BBM," paparnya.

Namun salah satu hal yang menjadi perhatian khalayak terkait dampak dari kenaikan harga BBM yang dikhawatirkan memicu kenaikan angka kemiskinan. Benarkah hal itu bakal terjadi?

Buka halaman selanjutnya untuk tahu jawabannya!

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menjelaskan BBM merupakan barang yang menguasai hajat hidup masyarakat. Dia mengartikan bahwa BBM seharusnya terjangkau bagi seluruh masyarakat.

Lebih jauh dia menjelaskan, pengeluaran untuk BBM idealnya adalah 5% dari pendapatan masyarakat. Dia mencontohkan, jika seorang buruh memiliki gaji Rp 4 juta/bulan, maka artinya pengeluaran BBM harusnya Rp 200 ribu setiap bulannya.

"Ini saya ambil benckmark 5%, kalau dia sampai 10% artinya pengeluaran lainnya harus dikurangi. Artinya ada belanja-belanja lain yang harus dikurangi," tuturnya dalam sebuah diskusi Poligov di Jakarta, Minggu (11/9/2022).

Jika kenaikan BBM meningkatkan porsi pengeluaran buruh tersebut, lanjutnya, maka harus ada biaya pengeluaran lain yang harus dikurangi. Itu artinya maka akan mengikis daya beli masyarakat.

Menurut Anthony jika daya beli masyarakat tergerus akibat kenaikan harga BBM, maka potensi meningkatnya angka kemiskinan semakin besar.

"Inilah kenapa harga BBM naik maka akan meningkatkan kemiskinan. Karena kemampuan dia untuk beli pangan, sandang akan berkurang. Ini yang membuat kemiskinan meningkat, ini yang tidak diperhatikan pemerintah," tuturnya.

Direktur Eksekutif Poligov Muhammad Tri Andika membeberkan hasil survei terbaru yang dilakukan. Menurutnya 80% publik tidak setuju dengan kenaikan harga BBM.

Akibatnya, pasca kebijakan kenaikan BBM 3 September lalu, terjadi penurunan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah dari 63% di bulan Juli, menjadi 60% di September 2022.

Tri Andika juga menekankan hanya 12% responden yang menyatakan BLT tepat untuk dijalankan. Sementara mayoritas responden setuju dengan subsidi barang alih-alih subsidi melalui BLT.

Sementara itu Pengamat Ekonomi Politik sekaligus Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu mempertanyakan mengenai salah satu alasan kenaikan harga BBM adalah subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran.

Sebab menurutnya sejak dulu memang subsidi BBM tidak pernah memasukkan unsur sasaran pemberian subsidi. Dia menjelaskan untuk penyaluran subsidi BBM yang menjadi unsur utama adalah penentuan kuota.

"Apakah betul bahwa subsidi BBM salah sasaran? Dari dulu subsidi tidak ada namanya sasaran, yang ada kuota. Misalnya berapa kuota Premium di provinsi A. Bahwa siapa yang beli di sana tidak ada," ucapnya.

Nah, untuk menentukan besaran kuota subsidi BBM di sebuah wilayah dihitung berdasarkan jumlah kendaraan umum dan jumlah masyarakat menengah ke bawah di daerah tersebut.


Hide Ads